Kamis, 11 Juni 2009

SEJARAH PLATO

SEJARAH PLATO

Filosof Yunani kuno Plato tak pelak lagi cikal bakal filosof politik Barat dan sekaligus dedengkot pemikiran etika dan metafisika mereka. Pendapat-pendapatnya di bidang ini sudah terbaca luas lebih dari 2300 tahun. Tak pelak lagi, Plato berkedudukan bagai bapak moyangnya pemikir Barat,
Plato dilahirkan dari kalangan famili Athena kenamaan sekitar tahun 427 SM. Di masa remaja dia berkenalan dengan filosof kesohor Socrates yang jadi guru sekaligus sahabatnya. Tahun 399 SM, tatkala Socrates berumur tujuh puluh tahun, dia diseret ke pengadilan dengan tuduhan tak berdasar berbuat brengsek dan merusak akhlak angkatan muda Athena. Socrates dikutuk, dihukum mati. Pelaksanaan hukum mati Socrates --yang disebut Plato "orang terbijaksana, terjujur, terbaik dari semua manusia yang saya pernah kenal"-- membikin Plato benci kepada pemerintahan demokratis.
Tak lama sesudah Socrates mati, Plato pergi meninggalkan Athena dan selama sepuluh-duabelas tahun mengembara ke mana kaki membawa.
Sekitar tahun 387 SM dia kembali ke Athena, mendirikan perguruan di sana, sebuah akademi yang berjalan lebih dari 900 tahun. Plato menghabiskan sisa umurnya yang empat puluh tahun di Athena, mengajar dan menulis ihwal filsafat. Muridnya yang masyhur, Aristoteles, yang jadi murid akademi di umur tujuh belas tahun sedangkan Plato waktu itu sudah menginjak umur enam puluh tahun. Plato tutup mata pada usia tujuh puluh.
Plato menulis tak kurang dari tiga puluh enam buku, kebanyakan menyangkut masalah politik dan etika selain metafisika dan teologi. Tentu saja mustahil mengikhtisarkan isi semua buku itu hanya dalam beberapa kalimat. Tetapi, dengan risiko menyederhanakan pikiran-pikirannya, saya mau coba juga meringkas pokok-pokok gagasan politiknya.yang dipaparkan dalam buku yang kesohor, Republik, yang mewakili pikiran-pikirannya tentang bentuk masyarakat yang menurutnya ideal.
Bentuk terbaik dari suatu pemerintahan, usul Plato, adalah pemerintahan yang dipegang oleh kaum aristokrat. Yang dimaksud aristokrat di sini bukannya aristokrat yang diukur dari takaran kualitas, yaitu pemerintah yang digerakkan oleh putera terbaik dan terbijak dalam negeri itu. Orang-orang ini mesti dipilih bukan lewat pungutan suara penduduk melainkan lewat proses keputusan bersama. Orang-orang yang sudah jadi anggota penguasa atau disebut "guardian" harus menambah orang-orang yang sederajat semata-mata atas dasar pertimbangan kualitas.
Plato percaya bahwa bagi semua orang, entah dia lelaki atau perempuan, mesti disediakan kesempatan memperlihatkan kebolehannya selaku anggota "guardian". Plato merupakan filosof utama yang pertama, dan dalam jangka waktu lama nyatanya memang cuma dia, yang mengusulkan persamaan kesempatan tanpa memandang kelamin. Untuk membuktikan persamaan pemberian kesempatannya, Plato menganjurkan agar pertumbuhan dan pendidikan anak-anak dikelola oleh negara. Anak-anak pertama-tama kudu memperoleh latihan fisik yang menyeluruh, tetapi segi musik, matematika dan lain-lain disiplin akademi tidak boleh diabaikan. Pada beberapa tahap, ujian ekstensif harus diadakan. Mereka yang kurang maju harus diaalurkan untuk ikut serta terlibat dalam kegiatan ekonomi masyarakat, sedangkan orang-orang yang maju harus terus melanjutkan dan menerima gemblengan latihan. Penambahan pendidikan ini harus termasuk bukan cuma pada mata pelajaran akademi biasa, tetapi juga mendalami filosofi yang oleh Plato dimaksud menelaah doktrin bentuk ideal faham metafisikanya.
Pada usia tiga puluh lima tahun, orang-orang ini yang memang sudah betul-betul meyakinkan mampu menunjukkan penguasaannya di bidang teori-teori dasar, harus menjalani lagi tambahan latihan selama lima belas tahun, yang mesti termasuk bekerja mencari pengalaman praktek. Hanya orang-orang yang mampu memperlihatkan bahwa mereka bisa merealisir dalam bentuk kerja nyata dari buku-buku yang dipelajarinya dapat digolongkan kedalam "kelas guardian." Lebih dari itu, hanya orang-orang yang dengan jelas bisa. menunjukkan bahwa minat utamanya adalah mengabdi kepada kepentingan masyarakatlah yang bisa diterima ke dalam. "kelas guardian."
Keanggotaan guardian tidak dengan sendirinya menarik perhatian masyarakat. Sebab, jadi guardian tidaklah banyak mendapatkan duit. Mereka hanya dibolehkan memiliki harta pribadi dalam jumlah terbatas dan tak boleh punya tanah buat rumah pribadinya. Mereka menerima gaji tertentu dan tetap (itu pun dalam jumlah yang tak seberapa), dan tidak dibolehkan punya emas atau perak. Anggota guardian tidak diperkenankan punya famili yang terpisah tempatnya, mereka harus makan berbareng, punya pasangan bersama. Imbalan buat pentolan-pentolan filosof ini bukannya kekayaan melainkan kepuasan dalam hal melayani kepentingan umum. Begitulah ringkasnya sebuah republik yang ideal menurut Plato.
Republik terbaca luas selama berabad-abad. Tetapi harus dicatat, sistem politik yang dianjurkan didalamnya belum pernah secara nyata dipraktekkan sebagai model pemerintahan mana pun. Selama masa antara jaman Plato hingga kini, umumnya negara-negara Eropa menganut sistem kerajaan. Di abad-abad belakangan ini beberapa negara menganut bentuk pemerintah demokratis. Ada juga yang menganut sistem pemerintahan militer, atau di bawah tiran demagog seperti misalnya Hitler dan Mussolini. Tak satu pun pemerintahan-pemerintahan ini punya kemiripan dengan republik ideal Plato. Teori Plato tak pernah jadi anutan partai politik mana pun, atau jadi basis gerakan politik seperti halnya terjadi pada ajaran-ajaran Karl Marx, apakah dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa hasil karya Plato, kendati diperbincangkan dengan penuh penghargaan, sebenarnya sepenuhnya disisihkan orang dalam praktek? Saya pikir tidak.
Memang benar, tak satu pun pemerintahan sipil di Eropa disandarkan atas model Plato secara langsung. Namun, terdapat persamaan yang mengagumkan antara posisi gereja Katolik di Eropa abad tengah dengan "kelas guardian" Plato. Gereja Katolik abad pertengahan terdiri dari kaum elite yang mempertahankan diri sendiri agar tidak layu dan tersisihkan, yang anggota-anggotanya mendapat latihan-latihan filosofis resmi. Pada prinsipnya, semua pria, tak peduli dari mana asal-usulnya dapat dipilih masuk kependetaan (meski tidak untuk wanita). Juga pada prinsipnya, para pendeta itu tak punya famili dan memang diarahkan semata-mata agar mereka memusatkan perhatian pada kelompok mereka sendiri, bukannya nafsu keagungan disanjung-sanjung.
Peranan partai Komunis di Uni Soviet juga ada yang membandingkannya dengan "kelas guardian" Plato dalam dia punya republik ideal. Di sini pun kita temukan kelompok elite yang kesemuanya terlatih dengan filosofi resmi.
Gagasan Plato juga mempengaruhi struktur pemerintahan Amerika Serikat. Banyak anggota konvensi konstitusi Amerika mengenal dan tak asing dengan gagasan-gagasan politik Plato. Dia maksud, sudah barang tentu, agar Konstitusi Amerika Serikat membuka kemungkinan menggali dan mempengaruhi kehendak rakyat. Dan juga diinginkan sebagai sarana memilih orang-orang yang paling bijak dan paling baik untuk memerintah negara.
Kesulitan menentukan arti penting pengaruh Plato sepanjang masa --meski luas dan menyebar-- adalah ruwet dipaparkan dan bersifat tidak langsung. Sebagai tambahan teori politiknya, diskusinya di bidang etika dan metafisika telah mempengaruhi banyak filosof yang datang belakangan. Apabila Plato ditempatkan pada urutan sedikit lebih rendah ketimbang Aristoteles dalam daftar sekarang ini, hal ini terutama lantaran Aristoteles bukan saja seorang filosof melainkan pula seorang ilmuwan yang penting. Sebaliknya, penempatan Plato lebih tinggi urutannya ketimbang pemikir-pemikir seperti John Locke, Thomas Jefferson dan Voltaire, sebabnya lantaran tulisan-tulisan ihwal politiknya mempengaruhi dunia cuma dalam jangka masa dua atau tiga abad, sedangkan Plato punya daya jangkau lebih dari dua puluh tiga abad.

GENDER DAN DINAMIKA PEREMPUAN DALAM SEJARAH

GENDER DAN DINAMIKA PEREMPUAN DALAM SEJARAH



Perempuan dengan segala macam problemanya mempunyai sejarah kehidupan yang sangat panjang dab pahit. Paparan sejarah sejak berabad-abad yang lalu, mulai abad kuno hingga abad menjelang turunnya Islam (6sm – 6m), bahkan hingga sekarang menunjukkan betapa nasib perempuan tidak beruntung. Perempuan identik dengan sosok yang rentan menerima perlakuan yang tidak manusiawi. Tentu secara normatif, semua agama tidak membenarkan praktek-praktek yang demikian.

Sejarah membuktikan bahwa kondisi ketidak beruntungan yang dialami peempuan dipicu oleh banyak factor. Tentu hal ini hal ini tidak dapat abaikan, mengingat secara kodrati dan normative semua agama tidak membenarkan adanya tindakan yang tidak baik, baik kepada esama manusia, maupun lingkungan sekitar. Oleh karenanya, untuk menciptakan masyarakat yang damai tanpa tindakan yang tidak baik dan tidak adil terhadap perempuan kiranya diperlukan pengetahuan apa makna seks dan gender

Perempuan Dalam Sejarah

Pada masa abad kuno (6sm – 5m) secara umum, perempuan mengalami nasib yang sama, yakni tertindas oleh kaum laki-laki. Hal ini dapat dibaca dalam peristiwa rentang sejarah, misalnya apa yang terjadi dalam agama Hindu. Ada konsep perempuan sati dala agama hindu. Yakni sebuah kondisi, di mana ketika seorang istri di tinggal mati oleh suaminya, maka ia pun harus rela ikut dibakar hidup-hidup dengan suaminya yang mati tersebut. Hal ini dianggap sebagai pengabdian istri terhdap suaminya, yang kemudian dianggap sebagai wanita sempurna.

Dalam agama Kristen dan Katolik pun tidak jauh beda. Perempuan di masa ini dianggap makhluk yang belum sempurna. Ia tidak emiliki hak seperti laki-laki dalam hal ikut berpendapat di gereja dan tidak dapat menjadi pemimpin gereja. Ketika perempuan mengalami menstruasi perempuan di anggap kotor. Ia harus tinggal di tempat terpencil hingga elesai. Barang-barang yang tersentuh perempuan yang sedang menstruasi dianggap najis.

Di Eropa, hingga abad 18, perempuan belum bisa mendapatkan hak belajar menuntut ilmu seperti kaum laki-laki karena dianggap bukan manusia sempurna. Di Timur, hingga sekarang belum mendapat hak yang equal dengan kaum laki-laki.

Dalam agama Islam ( 6m – searang) pun demikian. Semua agama, termasuk Islam secara normative sebenarnya relative mengangkat derajad kaum peempuan. Akan tetapi, paradigma patriarkhi yang kental dipraktekkan disepenjang sejarah manusia, sangat lekat pula mempengaruhi pola pikir kaum laki-laki. Sehingga di semua agama, terjadi pemahaman terhadap teks kitab suci yang bias gender. Akibatnya, melahirkan aturan-aturan yang bias gender pula dan dijadikan legitimasi untuk mengatur perempuan secara tidak adil gender.

Lalu bagaina kondisi perempuan di jaman sekarang?

Pencerahan-pencerahan pemikiran mengenai betapa kaum perempuan mestinya harus disikapi sama dengan kaum laki-laki sudah banyak muncul. Hal ini di awali, jika dalam Islam diteladani oleh Rasulullah Muhammad SAW, dalam Hindu Gandi, dalam Kristen oleh Bunda Theresa, dan tokoh-tokoh lainnya. Geerakan perempuan di Barat –feminisme- di abad 17 juga merupakan gerakan pemberontakan terhadap pembelengguan dan penyiksaan pada peempuan. Dan secara nyata, hingga hari ini pun masih sangat banyak praktek kekerasan terhadap perempan. Untuk mengetahui hal ini di Cirebon misalnya, dapat dilihat betapa masih banyak klien korban perkosaan, KDRT, dsb. Di kantor WCC Balqis Cirebon. Salah satu hal penting dimengerti oleh semua pihak untuk mengetahui hal-hal yang telah keliru dalam sejarah yang berakibat fatal pada kaum perempuan adalah kita harus mengerti makna konsep seks dan gender.
Seks Dan Gender

A. Pengertian Seks dan Gender
Uraian di bawah ini merupakan upaya teknis dalam memahami apa yang dimaksud gender berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan. Oleh karena itu dalam penggambarannya dilakukan sesingkat mungkin. Resikonya, beberapa penjelasan akan sangat terbatas dan bersifat umum. Penjelasan tema secara lebih mendalam dapat dibantu melalui diskusi mendalam yang merujuk reference dan bacaan yang lebih luas.

Istilah Seks merujuk pada perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis (organ biologis dan fungsi biologis) seperti perempuan bercirikan vagina, sel telur (ovum), payudara, rahim, bisa hamil, melahirkan dan menyusui. Sedangkan laki-laki bercirikan mempunyai penis, sel telur (sperma), jakun dan sebagainya. Seks juga biasa disebut sebagai jenis kelamin biologis (Elli N.H dan Wakhid H., 2002: 16). Masih dalam konteks yang sama, Dr.Nasarudin Umar dalam bukunya yang berjudul “Argumen Kesetaraan Gender” ( 1999: 35) menyatakan, seks secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi.

Sedangkan istilah gender (dari bahasa Igrris) berarti jenis kelamin (John Echols dan Hassan Shadily, 1983: 265, dalam Umar, N., 1999: 34). Gender juga diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.(Victoria Neufeldt (ed.), 1984: 561, dalam Umar, N., 1999: 34)). Gender merupakan konsep kultur yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Hellen Tiemey, hal. 153, dalam Umar, N., 1999: 34-35). Dari berbagai definisi gender yang dimunculkan, dapat ditarik benang merah bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial dan budaya. Gender dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari non-biologis (Nasaruddin Umar, 1999: 34-35).

Gender merujuk pada perbedaan laki-laki dan perempuan yang bersifat kebiasaan sosial dan bukan biologis. Contoh perbedaan ini adalah laki-laki biasanya mempunyai tubuh kekar, berperangai keras, lebih rasional, bekerja pada wilayah masyarakat luas, berperan sebagai pemimpin dan sebagainya. Perempuan biasanya bertubuh langsing, berperangai lembut, lebih emosional, bekerja pada wilayah rumah tangga, dan berperan sebagai yang dipimpin. Gender biasa juga disebut kelamin sosial, artinya jenis kelelakian dan keperempuanan yang diciptakan oleh masyarakat (Elli N.H dan Wakhid H., 2002: 16). Gender juga bisa berarti harapan, kebiasaan, adat, dan tradisi, yang melekat pada suatu budaya tertentu, yang merupakan pembeda tugas dan peran sosial laki-laki dan perempuan.

B. Identitas seks dan gender
Di bawah ini akan disampaikan secara singkat perbedaan antara seks dan gender di lihat dari sifat-sifatnya:
Seks mempunyai sifat-sifat sebagai berikut.
a) bersifat biologis
b) diperoleh dari kodrat
c) tidak bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan
d) berlaku di mana saja dan kapan saja (universal)

Gender mempunyai sifat-sifat sebagai berikut.
a) bersifat tidak biologis, tetapi fungsi dan peran
b) diperoleh dari pembelajaran masyarakat (adat kebiasaan)
c) bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan, artinya perempuan dan laki-laki bisa melakukannya
d) berlaku tidak di mana saja dan kapan saja, tetapi di tempat dan waktu tertentu (Elli N.H dan Wahid H., 2002:17)
Dapat disimpulkan perbedan antara keduanya, yakni jika kita studi tentang seks, maka lebih menekankan perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki dan perempuan. Sementara studi gender lebih menekankan perkembngan aspek maskulinitas atau feminitas seseorang. Untuk proses pertumbuhan anak menjadi seorang laki-laki atau perempuan lebih banyak digunakan istilah gender dari pada istilah seks. Karena istilah seks pada umumnya digunakan untuk merujuk pada persoalan reproduksi dan aktivitas seksual.

C. Kontekstualisasi Konsep Gender
Ada tiga gejala dan perbedaan yang menonjol seputar hubungan dan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial. Pertama pola hubungan laki-laki dan perempuan di masyarakat padang pasir yang cenderung nomaden. Dalam masyarakat nomaden laki-laki lebih dominan dari pada perempuan. Kedua, pola hubunga laki-laki dan perempuan di masyarakat agraris. Dalam masyarakat petani, hubungan kerjasama antara keduanya lebih terlihat. Perempuan tampak lebih mandiri. Ketiga, pola hubungan laki-laki dan perempuan di masyarakat industri. Dalam masyarakat industri skill lebih dihargai dari pada jenis kelamin (Komarudin Hidayat dalam Umar, N., 1999: xv).

Sebagaimana terlihat di atas, secara kontekstual, pola hubungan serta peran antara laki-laki dan perempuan di tiap-tiap tipe masyarakat berbeda. Hubungan dan peran tersebut dikonstruk oleh budaya. Budaya akan mewarnai dan menampak dalam system masyarakat, bahkan pola piker masyarakat. Setiap masyarakat memiliki karakter yang berbeda. Hal ini tentu dikarenakan oleh kebutuhan-kebutuhan, tradisi, atau hal lain yang secara lokal berbeda. Budaya lokal selalu dicipta atas kreatifitas dan kebutuhan lokal. Di masyarakat arab misalnya, kaum laki-laki lebih dominan. Kaum laki-laki betul-betul menguasai ranah publik. Di jaman jahiliyah (sebelum Islam turun) perempuan benar-benar terkondisikan tidak terjun ke ranah publik karena harus hamil, melahirkan, dan menyusui, juga menunggu harta hasil buruan pasangannya. Sisi lain, kondisi alam Arab seperti suasana perang. Perang melawan ganasnya cuaca, melawan perebutan air dan bahan makanan, dsb. Kaum laki-laki yang biasa menghadapi suasana seperti suasana perang ini semakin terlatih keberaniannya. Sementara kaum perempuan yang terkondisikan banyak di rumah tadi menjadi semakin tertinggal di segala bidang kehidupannya. Mereka menjadi kaum yang serba bergantung, lemah ekonomi, lemah pendidikan, dan lemah keberanian. Demikian hingga sekarang kaum perempuan masih terkungkung setidaknya oleh karakternya sendiri yang inferior akibat proses pembelengguan dalam sejarah hidupnya.

Persoalan yang muncul kemudian adalah, ketika terkondisikannya perempuan karena faktor-faktor tertentu tersebut mulai ditradisikan secara baku, sehingga benar-benar menjadi tradisi atau budaya masyarakat. Tradisi yang mengurung dan memasung kaum perempuan sehingga harus hanya berkiprah di ranah domistik. Kemudian tradisi tersebut dibakukan menjadi sebuah hukum tetap dan diberlakukan di semua tempat dan sepanjang jaman. Inilah yang menentukan tragisnya kaum perempuan di sepanjang jaman hingga hari ini. Perempuan dihukumi harus di rumah, diharamkan berkiprah keluar rumah. Bahkan juga tidak dihargai karena kiprahnya di rumah tersebut, dinomor duakan, tidak dilibatkan dalam segala aktifitas yang sifatnya merumuskan dan menentukan kebijakan, dsb. Di masa abat Kuno hingga menjelang abat Pertengahan (6sm-7m) perempuan bukan hanya tidak dihargai tetapi juga diperlakukan seperti binatang dan benda mati. Proses sejarah ini yang mengawali jayanya bangunan budaya patriarkhi sepanjang abad kehidupan manusia, sehingga masyarakat Arab jahiliyah bahkan masyarakat dunia menjadi tidak menghormati samasekali kaum perempuan.

Pertanyaan berikutnya adalah, apakah ketika Islam turun di tengah masyarakat yang bangunan budaya patriarkhinya sangat kokoh juga dipahami oleh pola pemikiran yang masih tebal akan budaya patriarkhi tersbut? Apakan masih adanya sebagian hasil pemahaman teks-teks ayat al Qur’an yang masih bias gerder juga karena proses yang demikian? Dan apakah berarti pemahaman yang telah ada butuh penafsiran kembali sesuai dengan realitas perubahan zaman dengan segala persoalannya? Ini artinya bahwa, ketika dalam memahami agama peran laki-laki yang pola pemikirnnya tebal dengan budaya patriarkhi tersebut mendomianasi kaum perempuan, sesungguhnya hasilnya bukan doktrin agama, tetapi sebuah ideologisasi produk sejarah. Senyatanya hingga sekarang praktek budaya patriarkhi terjadi sangat berkelindan dengan berkuasanya laki-laki atas perempuan. Sehingga pola relasi serta peran perempuan dalam kehidupannya dikonstruk dan dikontrol oleh kaum laki-laki. Hidup perempuan menjadi harta milik laki-laki.

Berangkat dari berbagai aspek budaya, alam, aspek psikologis, dan teks al Qur’an Dr. Nasaruddin Umar mengingatkan agar hati-hati dalam memahami relasi seksual dan relasi gender. Relasi seksual adalah hubungan antara kaum laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada tuntutan dan kategori biologis. Sedangkan relasi gender adalah sebuah konsep dan realitas sosial yang berbeda. Pada relasi ini pembagian kerja seksual antara laki-laki dan perempuan tidak didasarkan pada pemahaman yang bersifat normatif serta kategori biologis, tetapi pada kualitas, skill, dan peran, berdasarkan hukum konstruksi sosial. Dengan demikian, konsep dan manifestasi relasi gender lebih dinamis serta memiliki kelenturan dengan mempertimbangkan variabel psiko-sosial yang berkembang (Komaruddin Hidayat dalam Nasiruddin Umar, 1999: 1X-XX.

Menurut Nasiruddin Umar, dalam menafsirkan ayat-ayat al Qur’an kita sering mencampuradukkan dua katagori yang jelas berbeda –istilah yang menunjuk kategori seksual-biologi dan istilah yang menunjuk konsep gender- , bahkan sering mengidentikan yang satu dengan yang lain. Misalnya soal tugas kepemimpinan dan mencari nafkah. Di masa sekarang al Qur’an dihadapkan pada realitas kehidupan yang jauh berbeda dengan realitas kehidupan ketika al Qur’an diturunkan. Pada situasi dan kondisi seperti ini, sangat dimungkinkan munculnya berbagai penafsiran dan implementasinya. Di dalam al Qur’an tidak ditemukan statemen al Qur’an mengenai jabatan, misalnya Presiden, Menteri, Direktor dsb., karena sewaktu al Qur’an diwahyukan dunia Arab saat itu belum mengenal birokrasi serumit sekarang ini. Dengan demikian, persoalan gender merupakan wilayah yang terbuka untuk ditafsirkan dengan mempertimbangkan konteks sosialnya.

Perbedaan anatomi biologis laki-laki dan perempuan memang ada, akan tetapi tidak tepat jika perbedaan biologis tersebut dijadikan landasan baku untuk membuat klasifikasi atau disertifikasi peran dalam kehidupan sehari-hari (Komaruddin Hidayat, dalam Nasaruddin Umar, 1999: xx-xxi).
Pemahaman akan perbedaan seks dan gender menjadi penting karena dalam prakteknya pengertian antara keduanya sering tumpah tindih bahkan disamakan. Hal ini tidak bias dianggap ringan karena peran-peran yang mestinya bukan menjadi kodrat bagi perempuan malah dikodratkan sehingga terkesan merupakan harga mati harus dilakukan perempuan sendiri. Hal ini membuat perempuan menjadi sangat berat menjalankan peran dan pekerjaan hidupnya, sementara laki-laki jauh lebih ringan beban pekerjaannya. Konsekuensi buruknya adalah, perempuan tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya, merawat dirinya, dsb. Hal yang lebih tragis, ketika perempuan kurang memiliki kemampuan dan tidak terawat dirinya, maka dipandang rendah, bahkan menjadi salah satu alasan para suami untuk meninggalkannya atau berpoligami karena alasan kurang komunikatif dan kurang menarik, atau kurang servisnya.

Penutup
Pemahaman singkat akan paparan di atas diharapkan memberi sedikit wacana baru, sehingga pencerahan-demi pencerahan di dapatkan. Tentu hal ini sangat berguna bagi kehidupan kemanusiaan yang lebih baik dan lebih arif. Perempuan dan laki adalah sama. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dan saling melengkapi. Oleh karena itu, tidak ada agama manapun yang memedakan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan kelas antara keduanya muncul akibat salah memahami teks kitab suci. Salah pemahaman ini diakibatkan oleh kuatnya paradigma dan pola pikir yang patriarkhis yang dibentuk oleh sejarah. Semoga bermanfaat




DAFTAR PUSTAKA

Hayati, Elli N. dan Wakhid H. 2002. Pelatihan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (PKTP) untuk Tingkat Lapangan (Bagi Pendamping Perempuan Koban Kekerasan). Jakarta: Kementrian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia.
Hayati, Elli N. 2002. Panduan untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan. Konseling Berwawasan Gender. Yogyakarta: Galang Printika.
Hayati, Eli, N. Dkk., 2000, Menggugat Harmoni, Yogyakarta: Rifka Annisa’ Women’s Crisis Center
Umar, Nasarudin. 1999. Argumen Kesetaraan Jender. Jakarta: PARAMADINA.
Venny, Adriana. 2003. Memahami Kekerasan terhadap Perempuan (Panduan untuk Jurnalis). Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan (YJP).
Engineer, Asghar , A., 2000, Hak-Hak Perempuan Dalam Islam, Yogyakarta: LSPPA
Leclerc, Annie, 2000, Kalau Perempuan Angkat Bicara, Yogyakarta: Kanisius
Sukri, Sri S., 2001, Perempuan Dan Seksualitas Dalam Tradisi Jawa, IAIN Walisanga: Gema Media

Revolusi Terhadap Diri Sendiri

Revolusi Terhadap Diri Sendiri
Tersebut riwayat bahwa usai pertempuran di Badar –dikenal dengan Perang Badar (624)– nabi bersabda, ”Kita baru melaksanakan perjuangan kecil menuju perjuangan besar”. Para prajurit heran, kenapa perang yang baru terjadi itu disebut perjuangan kecil; bukankah terjadi pada bulan puasa, ketika para prajurit sedang berpuasa di gurun; bukankah jumlah orang yang terlibat (sekitar 1000 orang kafir dan 313 Muslim) terbilang besar? Bukankah Perang Badar adalah saat yang kritis bagi Muslim mengingat jika kalah bukan hanya kaum Muslim yang habis namun juga seluruh penyembah Allah akan musnah? Hal tersebut terungkap dari doa Muhammad SAW: “…..Ya Allah, jika kami kalah maka tidak akan ada lagi orang yang menyembahmu…..”
Muhammad SAW menjawab dengan singkat namun padat, ”Perjuangan melawan hawa nafsu”.
Dari riwayat tersebut di atas dapatlah disimak, bahwa musuh bukan hanya ada yang jauh namun juga ada yang dekat dengan diri, bahkan bercokol dalam diri. Agaknya Muhammad jauh-jauh waktu sudah memperingatkan bahwa ada suatu perjuangan, atau revolusi, terhebat karena ada musuh yang terdekat. Musuh yang tak dapat dihindar dengan lari atau sembunyi, musuh yang terus hidup selama orang yang bersangkutan hidup, musuh yang tak kenal lelah, libur, cuti, istirahat atau hal semacam itu, kecuali orang yang bersangkutan tidur. Musuh yang lazim disebut nafsu. Artinya musuh tersebut adalah bagian dari diri sendiri. Akibatnya, orang harus memusuhi atau melawan dirinya sendiri. Bagaimana ini?
Coba kita kembali mengingat kisah penciptaan manusia. Manusia bukan makhluk ruhani belaka, manusia adalah juga makhluk jasadi. Ada darah, keringat, tulang dan daging. Unsur-unsur tersebut berakibat manusia memiliki apa yang disebut kebutuhan, keinginan atau nafsu tersebut tadi, yang dapatlah didefinisikan dengan “suatu dorongan atau kecenderungan untuk mendapat sesuatu guna membangkitkan rasa cukup atau kenyang –lazim disebut puas– atau guna mempertahankan hidup selama mungkin.”
Nafsu beragam jenisnya, namun nafsu perut dan nafsu bawah perut umumnya dinilai sebagai nafsu yang paling dasar, atau asal muasal nafsu yang lain semisal nafsu kaya, nafsu kuasa atau nafsu tenar, mengingat bahwa hal tersebut terkait dengan kelangsungan hidup. Jika perut tidak diisi maka lapar yang muncul, jika terus dibiarkan maka terhentilah hidup seseorang. Demikian pula dengan bawah perut, jika diabaikan maka terputuslah pelanjut hidup.
Tuhan memberi nafsu dan juga (tentu saja) akal kepada manusia, dengan maksud ada langkah maju yang membedakan manusia dengan tumbuhan dan binatang. Sebagai contoh, coba lihat sarang burung. Sejak burung ada, bentuk sarang atau rumahnya tak mengalami perubahan, dalam arti lebih baik, lebih nyaman, lebih mewah atau hal semacam itu. Adapun manusia mampu membuat perubahan tempat mukimnya. Berawal dari mukim di gua atau di atas pohon hingga apartemen atau istana. Dengan demikian manusia diarahkan menjadi makhluk yang dinamis. Dengan nafsu manusia terdorong untuk maju, dengan akal manusia mencari cara untuk maju.
Namun akal dan nafsu mengandung kerawanan jika tak dilengkapi dengan pemberian lain yaitu pedoman yang berfungsi mengarahkan manusia ke arah perkenan Tuhan. Karena akal dan nafsu cenderung berebut pengaruh untuk memegang kendali terhadap manusia. Kelak terbukti bahwa nafsu cenderung lebih sering menang. Ada pun pedoman yang dimaksud lazim disebut agama atau wahyu. Pedoman tersebut bukanlah untuk membunuh nafsu dan akal, namun mengendalikan atau mengelolanya supaya terhindar dari kekacauan.
Akal, nafsu dan agama adalah anugerah kepada manusia sebagai makhluk yang dilantik sebagai apa yang disebut “wakil”, khalifah atau “mandataris” Tuhan. Pelaksana kehendak Tuhan di alam yang telah ditentukan, yaitu alam dunia. Tuhan –dengan sifat rahimnya – berbagi wewenang kepada manusia hanya sekedar untuk melaksanakan kehendak Tuhan. Tentu saja dapat difahami jika wewenang tersebut terbatas, anggaplah semacam fasilitas.
Fasilitas lainnya adalah dunia atau alam beserta isinya. Manusia diizinkan memakai, menikmati, dan jangan lupa, melestarikan alam supaya pelaksanaan kehendak Tuhan dapat berlangsung awet. Dunia pun memiliki keterbatasan. Nah, melaksanakan kehendak Tuhan lazim disebut dengan ibadah atau ibadat. Ibadat dapat didefinisikan sebagai segala perilaku –perbuatan, perkataan, pemikiran dan sebagainya– yang berdasar pada kehendak tuhan dengan niat hanya meraih perkenannya. Kitab suci menyatakan firman, ”Tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepadaku…..”
Bahaya nafsu mungkin kurang disimak ketika manusia pertama belum mengenal perilaku yang membangkitkannya oleh makhluk yang lazim disebut setan. Penciptaan manusia dinilai oleh setan akan mengurangi atau menggeser keunggulannya di antara makhluk. Sebagian besar kita mungkin tak tahu bahwa pada awalnya atau tepatnya sebelum manusia dicipta, setan adalah makhluk Tuhan yang setia.
Kesetiaan yang sangat kepada Tuhan mendapat penghargaan berupa posisi sebagai “guru” Malaikat. Setanlah yang mengajar malaikat cara beribadat. Hal tersebut telah berlangsung lama, mungkin jutaan tahun. Ketika tahu bahwa Tuhan menciptakan makhluk berikut, yang ternyata adalah yang terakhir, yaitu manusia, setan menilai akan ada semacam persaingan meraih ridha Tuhan atau kasih Tuhan.
Kecemasan tersebut kelak (dinilai) terbukti ketika Tuhan memerintahkan malaikat dan setan untuk sujud kepada manusia. Tentu saja sujud yang dimaksud bukanlah menyembah, namun menghormati atau mengagumi kuasa Tuhan yang mampu menciptakan manusia dengan berbagai fasilitasnya, yaitu antara lain akal dan nafsu. Ketika itu belum ada perintah ibadat, syariat atau agama untuk manusia. Manusia dibiarkan dahulu mengenal lingkungannya, mempelajari ciptaan Tuhan. Dalam kitab suci tuhan mengisahkan bahwa manusia pertama tersebut diajar menyebut nama-nama, ini mungkin mudah difahami jika kita hubungkan dengan kehidupan kita sehari-hari. Bagi yang memiliki anak, anak diajar menyebut nama-nama atau kata-kata selain belajar yang lain semisal berjalan. Belajar berjalan dimaksud supaya si anak mengenal lingkungan sekitar. Hukum, kewajiban atau agama belum dibebankan kepadanya.
Peraturan atau syari’at pertama diberikan berupa kebolehan sekaligus larangan. “Semua boleh kamu makan (nikmati) kecuali satu pohon…..,” demikian firman Tuhan. Inilah awal perkenalan manusia dengan agama, yang kelak mengalami perubahan dalam arti penyempurnaan hingga muncul agama terakhir yang kita kenal dengan Islam. Tuhan menilai tiba waktunya manusia diberi pedoman, apa pun istilahnya semisal syari’at, peraturan, hukum atau agama: ini boleh, ini tak boleh. Tuhan ingin melaksanakan semacam uji coba apakah akal dan nafsu dapat dikendalikan oleh manusia berdasar agama, dan seberapa jauh dapat dikendalikan.
Setan –sebagai akibat dari penolakannya sujud kepada manusia– dinilai menyalahi disiplin Tuhan. Dia dihukum sebagai makhluk terkutuk. Namun mengingat pengabdiannya pada masa lalu, Tuhan memberi peluang untuk mengganggu manusia supaya menyimpang dari jalan Tuhan. Bahkan tersebut dalam riwayat, Tuhan masih memberi kesempatan dia mendapat ampunan-Nya, dengan (sejumlah) syarat. Namun hingga kini setan tidak berniat memenuhi syarat tersebut.
Kebencian setan kepada insan sesungguhnya memiliki dasar yang relatif lemah. Manusia tidak minta diciptakan, bahkan mungkin manusia tidak faham kenapa malaikat dan setan diperintah sujud kepadanya. Jika ingin dongkol, ya silahkan hanya dongkol kepada Tuhan. Manusia jangan dibawa-bawa. Namun karena setan tahu bahwa Tuhan tak mungkin dilawan, maka target permusuhan diarahkan kepada manusia. Setan menilai bahwa ada keunggulan manusia adalah sekaligus kelemahannya. Apakah itu? Jawabnya, ya nafsu tersebut tadi.
Usaha pertama setan memanfaatkan nafsu untuk menjerumuskan manusia terbukti sukses. Pelanggaran pertama dalam sejarah manusia terjadi: pohon terlarang ternyata didekati dan buahnya dinikmati. Akibat dari pelanggaran tersebut manusia mengenal semacam noda atau cacat yang lazim disebut dosa. Dari situ setan dapat menilai bahwa pelanggaran berikut akan berpeluang terjadi, dan kelak terbukti banyak terjadi.
Agaknya Tuhan tidak membiarkan setan menjadi pemenang dengan mudah dalam permusuhan ini. Kelak dari manusia tampil orang-orang yang dipilih membimbing umat manusia untuk tetap setia pada Tuhan, lazim disebut nabi. Agama demi agama, ajaran demi ajaran sambung bersambung diperkenalkan kepada manusia. Namun yang menyimpang tetap ada, dengan demikian masalahnya bukanlah apakah ada manusia yang menyimpang atau tidak, tetapi berapakah yang menyimpang.
Agama diharapkan akan memperkecil jumlah penyimpangan. Dalam agama, selain peraturan juga terdapat pengampunan bagi yang (telanjur) bersalah. Hal tersebut telah diberi sejak manusia pertama. Begitu sadar telah bersalah, manusia minta ampun, dan Tuhan memberi ampun. Dalam Islam, cara mohon ampun cukup beragam: paling ringan adalah mengucapkan permohonan ampun dengan singkat (lazim disebut istighfar), hingga melaksanakan sesuatu untuk menetralkan atau mengurangi sejumlah kerugian atau kerusakan akibat kesalahan (lazim disebut penebusan).
Mengingat perbuatan untuk menetralkan akibat kesalahan, atau mengendalikan nafsu (dan akal) guna mencegah kerugian atau kerusakan tersebut terjadi pada atau dalam diri selama hidup, tegasnya memiliki tingkat kesukaran paling tinggi, agaknya itulah termasuk yang dimaksud oleh nabi perjuangan melawan nafsu adalah perjuangan besar. Berjuang melawan diri sendiri, revolusi terhadap diri sendiri. Inilah awal revolusi, atau revolusi harus berawal dari diri sendiri. Revolusi dalam Islam. Istilahnya ibda bi nafsika (mulailah dari diri sendiri). Dalam kitab suci tersebut perintah “jagalah dirimu dan keluargamu dari neraka…..” yang sesungguhnya mengacu dari konsep ibda bi nafsika.
Lawan dalam diri sendiri mendapat penegasan lagi dari sabda rasul, “Sesungguhnya pada dirimu terdapat unsur jahiliyyah”. Walau nasihat tersebut ketika itu ditujukan kepada Abu Dzar al-Ghiffariy namun hal tersebut mencakup kepada seluruh manusia. Jahiliyyah adalah istilah lain untuk menyebut sisi buruk atau salah pada manusia.
Revolusi yang dikehendaki oleh Islam adalah perbaikan dari waktu ke waktu. Nabi bersabda,”Sebaik-baik manusia adalah memiliki hari kini lebih baik dari pada hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari kini…..” Dan revolusi yang dikehendaki adalah revolusi yang sedamai mungkin, revolusi dengan perang adalah pilihan akhir, mengingat Islam (dan semua agama) ingin ada kedamaian. Namun nafsu ingin peperangan, minimal dalam diri manusia mendorong harus ada perang. Tentu saja perang tersebut akan lebih meriah dengan kehadiran setan yang mengipas-ngipasi nafsu.
Dalam kitab suci, Tuhan menjelaskan bahwa manusia dihiasi oleh beberapa keinginan antara lain anak lelaki, sawah ladang, kendaraan, emas berpikul-pikul. Namun buntut dari ayat tersebut menjelaskan bahwa ada pahala dan ampunan yang besar. Ini menjelaskan bahwa tuhan tidak melarang manusia memiliki dunia, namun hal tersebut haruslah dinilai sebagai amanat Tuhan yang harus diperlakukan sesuai dengan kehendak Tuhan. Dan jika manusia melaksanakan itu, tersedia anugerah yang lebih utama dibanding dunia yaitu pahala dan ampunan yang besar.
Sejak masa awal Islam ada usaha-usaha untuk membunuh nafsu. Tersebut riwayat bahwa beberapa Muslim bertekad tidak kawin, puasa terus menerus, shalat terus menerus. Nabi mencoba meletakkan perkara sesuai dengan tempatnya. Menjadi orang suci dalam Islam bukan berarti membenci atau menjauhi dunia, bukan berarti membunuh nafsu. Namun mengendalikan.
Puasa misalnya, adalah contoh jitu latihan atau didikan dasar untuk itu. Walau demikian, faham anti duniawi sempat tampil cukup menonjol dalam sejarah Muslim. Sejumlah orang menempuh hidup berdasar faham tersebut lazim disebut shufiy, dan cara menempuhnya lazim disebut tashawuf. Abu Hamid al-Ghazaliy (1058-1111) sering dituding sebagai pengobar semangat hidup demikian. Siapapun pengobarnya, akibatnya bagi dunia Muslim adalah kelesuan untuk maju. Revolusi diambil alih oleh kaum non Muslim Barat, dan revolusi yang mereka kobarkan berdasar faham sekuler. Agama berkuasa hanya di ruang privat. Dan bencana kemanusiaan pun muncul silih berganti

MEMBACA NALAR USHUL FIQH SYAFI’I

1 Awalnya, Nabi melarang menulis apapun yang datang dari nabi, dengan alasan dikhawatirkan adanya pencampuradukan antara yang berasal dari nabi dan dari Tuhan.
2 Fazlur Rahman, Islam, Bandung: Pustaka Hidayah, cet. Ke. IV, 2000, hal. 93
3 Maksudnya para sahabat yang ahli di bidang al-Qur’an, karena tidak semua sahabat memaham al-Qur’an. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986, hal. 565
4 Menurut Ibnu Khaldun, ada dua bentuk ilmu manusia, yakni bentuk yang alami seperti filsafat yang mengandalkan olah pikir kedua ilmu tradisional yang mengandalkan sumber wahyu, seperti al-Qur’an berikut penggaliannya. Ibnu Khaldun, Op. Cit. hal.543
5 Kira-kira ilmu ushul fiqh lahir pada era abad ke dua H. Wahab Khalaf, Sejarah Teori Hukum Islam: Pengantar untuk Ushul Fiqh Madzhab Sunni, Jakarta: Rajawali Press, 2000, hal. 16
6 Dalam ilmu-ilmu keislaman klasik, ilmu biasanya dibagi menjadi dua bagian: ilmu dlalruri dan ilmu muktasab. Yang kedua ini biasanya ada pada manusia, walaupun kemungkinan manusia juga mempunyai ilmu dlaruri. Sementara itu, terkait dengan definisi ilmu biasanya di kalangan mereka berkisar pada pengertian: mengetahui sesuatu menurut apa adanya. Definisi ini mengindikasikan obyek yang diketahui sudah jelas, sehingga kepastian ilmunya diukur sejauh mana pengetahuannya relevan dengan obyeknya.. Berbeda dengan biasanya, ushul fiqh justru sulit diukur, lantaran yang terakhir ini berkaitan erat dengan teks-teks yang mengandung pengertian ganda dan bersifat praduga semata walaupun berasal dari sumber yang qot’i.
7 Berkaitan dengan pendiri ushul Fiqh para peneliti berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa ushul fiqh telah ada sebelum Syafi’, dan Syafi’i hanyalah satu ahli ushul fiqh yang populer di kalangan umat Islam. lihat misalnya, Musthafa Ibrahim al-Zalami, Dalalat Nushush wa Turuq Istim,bat al-Ahkam fi Dau’ Ushul al-Fiqhi al-Islami, Baghdad: Mathba’ah Asad, 1973. juga, Fart J. Ziadah, “Ushul Fiqh” dalam The Oxspord Encyclopedia of the modern Islamic Word, Rd. John L. Eaposeto (Oxpord: Oxpord Uinversity Press, 1955. George Makdisi, “The Juridical Theology of Sufi: Origins and significance of Ushul Fiqh”, Studia Islamica, 591984. Anwar A. Dadri, Islamic Yurisprudence in The Modern World, Lahore: Muhammad Asyraf, 1973. Sementara pendapat yang mengatakan bahwa Syafi’ilah pendiri ushul fiqh, lihat misalnya, Wahab Khalaf, ilmu Ushul Fiqh, Dar al-Ilmi, 1978, hal. 17. Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Kairo: Dar al-Fikr al-A’robi, 1987. Badran Abu al-Aynayn Badran, Ushul Fiqh al-Islami Alexandria: Muassasah Sabab al-Jami’ah, 1882. Muhammad Hasyim Kamali, Principli of Islamic Prudence: The Islamic Texs Society, Cambridge: 5 Grfee Street, 1991.
8 Pada awalnya, ulama’-ulama’ fiqh menggunakan dua pendekatan yang berbeda, yakni pendekatan yang mengandalkan rakyi, dengan tokohnya Imam Abu Hanifah dan pendekatan yang mengandalkan hadits, dengan tokohnya Imam Malik. Kemudian muncul kelompok lain yang tidak menyetujui penggunaan rakyi yaitu kaum Dhahiriyyah yang diwakli Daud al-Dhahiri. Ibnu Khaldun, Op. Cit. hal. 566
9 Ameer Ali, Api Islam, Jakarta: Bulan Bintang, cet. Ketiga, 1978, hal. 538
10 Nasr Hamid Abu Zaid, Syafi’i: Moderatisme, Eklektisisme, Arabisme, Yogyakarta: LkiS,1997. Lihat juga Wael B. Hallaq, Op. Cit. 31-44. Tetapi menurut Joseph Schacht perbedaan dikalangan para fuqaha lebih bersifat geografis bukan disebabkan oleh perbedaan prinsip atau metode, Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, Yogyakarta: ISLAMIKA, 2003, hal. 48
11 Nasr Hamid Abu Zaid, Op. Cit. 1997. dan lihat juga Wael B. Hallaq, Op. Cit. 31-44.
12 Judul kitab ini “al-Risalah” awalnya adalah “al-Kitab”. Menurut Jabiri, Syafi’i meminjam dari ahli Nahwu, Sibawaih, sebab Syafi’i lahir setelah Sibawaih. Jabiri, Turas wa al-Hadasah, hal. 156. Bahkan nama “al-Risalah” merupakan peralihan dari “al-Kitab” yang terjadi setelah Syafi’i merubah madzhabnya dari qaul Qodim ke Qaul Jadid. Wael B. Hallaq, Op. Cit. Hal. 31
13 Nasr Hamid Abu Zaid, al-Tafkir fi Zamani al-Takfir, Mesir: Sina Li al-Nasr, 1990, hal.184. Lihat Syafi’, Al-Risalah, Hal. 8
14 QS. “Tidak kami alpakan sesuatupun di dunia ini di dalam al-kitab”.
15 Wael B. Hallaq, Op. Cit. hal. 33. Di sinilah kemudian metode Syafi’i sebenarnya lahir dari teks “wahyu “ itu sendiri, Wael B. Hallaq, Ibid. Hal. 43
16 Wael B. Hallaq, Ibid. hal. 35.
17 Bahkan menurut Syafi’i, perbedaan pendapat dalam memahami al-Qur’an bakal terjadi jika seorang pemikir meninggalkan bahasa Arab dan bearalih pada logika Aristoteles. Muhammad Abed al-Jabiri, al-Turas wa al-Hadatsah: Dirasat wa Munaqasat, 1991, Markaz Tsaqafi al-Arobiy, hal. 149
21 Istilah Qiyas, Syafi’i pinjam dari istilah Qiyas dalam bahasa, Jabiri, Turas, Op. Cit. hal. 156. Tetapi qiyas disini menurut Hallaq hanya berkaitan dengan teks-teks yang memuat banyak penafsiran sementara terhadap teks-teks yang qat’i atau nash tidak boleh ada qiyas. Hallaq, Op. Cit. hal. 141
16 Fazlur Rahman, Op. Cit. hal. 91
17 Konsep ini kemudian disebut Turats. Ia yang senantiasa hidup dan bersemayam dalam kesadaran, dalam konteks pemikiran dan kebudayaan Islam-Arab hingga kini-yakni kebudayaan yang dilihat sebagai bagian yang esensial dari eksistensi dan kesatuan umat Islam maupun bangsa Arab. Dari sini, tradisi kemudian dilihat bukan sebagai sisa-sisa atau warisan kebudayaan peninggalan masa lampau, tapi sebagai “bagian dari penyempurnaan ”akan kesatuan dan ruang lingkup kultural tersebut, yang terdiri atas doktrin agama dan syari’at, bahasa dan sastra, akal dan mentalitas, kerinduan dan harapan-harapan”. Muhammad Abid al-Jâbiri, Postradisionalisme, Yogyakarta: LKiS, 2000, hal. 6.
18 Wael B. Hallaq, Op. Cit, hal. 31-43.
19 Menurut Nasr Hamid, dalam sejarah selanjutnya, khususnya pasca Syafi’i, teks primer al-Qur’an berubah menjadi teks sekunder, sebaliknya teks yang awalnya sekunder berbalik menjadi teks primer. Akal hanya berfungsi menganalogikan suatu peristiwa pada teks sekunder yang telah berubah menjadi teks primer. (Nasr Hamid Abu Zaid, al-Tafkir fi Zamani al-Takfir Mesir: Sina Li al-Nasr, 1990, hal. 135
20 Nasr Hamid Abu Zayd, Op. Cit. 1997, hal. 7-16
21 Menurut Nasr Hamid Abu Zayd, sesekali tidak ada benturan antara akal dengan teks. Benturan hanya terjadi antara akal dengan kekuasaan teks, yaitu ketika teks berubah menjadi kuasa mutlak dan otoritas yang menguasai praktek pemikiran keagamaan hingga kekuasaan akal menjadi kecil. Nasr Hamid Abu Zaid, ibid, 1997, hal. 118.
23 Nasr hamid Abu Zaid, Tektualitas Al-Qur’an:Kritik Terhadap Ulum Al-Qur’an, Yogyakarta: LKiS, 2001, hal. 1

Revolusi Terhadap Sesama Umat Islam

Revolusi Terhadap Sesama Umat Islam
Oleh. Millenium Stain Jember

Manusia tidak sendiri, menurut perkiraan pada tahun 2000 jumlah manusia adalah 6.000.000.000 (enam milyar) jiwa. Sekitar 1/6 dari itu adalah kaum Muslim. Walau bukan jumlah mayoritas di kolong langit ini, namun jumlah sedemikian bukanlah sedikit. Sulit mengelolanya: mayoritas kaum Muslim adalah terbelakang. Kemiskinan, kebodohan, kebejatan begitu setia menempel sejak sekitar abad ke-19. Penulis mencoba membahas, walau sekilas, beberapa masalah kaum Muslim.
1. Keterbelakangan
Keterbelakangan sebagaimana tersebut di atas, sebagai akibat konflik yang panjang dan kejam dengan umat lain, kaum Muslim kehilangan capaian kemanusiaannya. Berbagai pusat intelektual semisal madrasah, universitas, pustaka, masjid rusak tinggal puing. Para inteleknya banyak yang ditangkap dan atau dibunuh. Tak terhitung buku-buku yang juga dimusnahkan semisal di Baghdad dan Qurthubah.
Kemiskinan juga mengiringi akibat konflik. Pusat-pusat perekonomian semisal perdagangan dan pertanian juga dirusak atau ditinggalkan. Orang dipaksa untuk mahir memegang pedang dibanding memegang timbangan sebagaimana dipaksa mahir memegang pedang dibanding memegang pena.
Keterbelakangan tersebut terlestarikan, sengaja maupun tidak, oleh para elit yang tidak amanat terhadap kekayaan dan kekuasaan. Mereka sesungguhnya adalah hasil dari revolusi yang konon untuk mengusir penjajah asing atau kafir, namun yang muncul bukanlah masyarakat adil dan makmur, bukanlah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, tetapi para elit yang berjarak atau tidak memihak rakyat dengan perilaku selingkuhnya semisal korupsi, kolusi dan nepotisme.
Inilah contoh kebejatan yang penulis maksud. Mereka bukan melaksanakan nilai-nilai Islam namun justru melaksanakan nilai-nilai non Islam, terkadang warisan penjajah, semisal sekulerisme, kapitalisme, komunisme, hedonisme dan isme-isme entah apa lagi. Untuk melestarikan perselingkuhan tersebut mereka tak segan-segan menjadi antek imperialis: para aktivis Muslim ditangkap, dibunuh, diusir atau diekstradisi kepada imperialis. Indonesia adalah contoh yang jitu terhadap perilaku jahiliyah tersebut. Akibatnya, negeri yang kaya sumber alam, letak strategis serta luas ini tidak terkelola dengan becus. Dekat dengan azab Illahi dan jauh dari berkah Illahi
2. Perpecahan
Kaum Muslim terjebak dalam pengkotak-kotakan atau penggolong-golongan berdasar apa yang disebut mazhab atau sekte dalam memperlakukan agamanya. Perpecahan tersebut bahkan pernah menampilkan konflik yang berdarah-darah. Sekadar contoh adalah ‘Iraq, sejak dijajah Amerika pada 2003 negeri tersebut terjerumus dalam perang saudara antara Suni dan Syi’ah: saling membom masjid dan tentu saja saling bunuh. Perbedaan yang sesungguhnya berawal dari masalah politik kemudian merambah ke bidang agama. Perang Teluk I (1980-1988) antara ‘Iraq dengan Iran sungguh menguras potensi kaum Muslim secara konyol. Konflik tersebut selain perbedaan antara Suni dengan Syi’ah –mengingat ‘Iraq mayoritas Syi’ah namun sekian lama dikuasai oleh Suni– juga karena perbedaan bangsa. ‘Iraq sangat menonjol identitas Arabnya dan Iran menonjol karena identitas Persianya. Konflik berdasar bangsa tersebut sesungguhnya juga terbilang lama, pada abad ke-7 pasukan Muslim Arab menyerbu Kekaisaran Sassanida. Persia sepenuhnya takluk: mayoritas rakyatnya menjadi Muslim dan budaya Arab mendominasi. Hingga kini Iran masih memakai huruf Arab dan menyerap banyak istilah Arab, namun ciri Persianya tetap bertahan. Iran tidak mengalami Arabisasi yang nyaris total sebagaimana tetangganya, ‘Iraq.
Di ‘Iraq, selain perbedaan antara Arab Suni dengan Arab Syi’ah juga terdapat perbedaan yang menjurus konflik antara Arab dengan Kurdi. Walau sama-sama Suni, hal tersebut tidak menjamin persatuan. Sekian lama ‘Iraq di bawah dominasi Arab dinilai menzhalimi Kurdi. Kurdi menilai rezim Arab menguras sumber daya minyak di wilayah Kurdistan dan mereka cuma sedikit kebagian rezeki tersebut.
3. Cinta dunia takut mati
Inilah peringatan jitu oleh nabi menjelang wafat. Faham hedonisme dan materialisme sungguh mempesona mayoritas kaum Muslim, nilai-nilai yang memuja duniawi menjadi ukuran kehormatan atau kemuliaan. Mereka berusaha meraih nikmat duniawi, apa pun caranya. Sadar tak sadar, kaum Muslim menjadikan dunia sebagai tujuan akhir atau segalanya, bukan lagi hanya sebagai fasilitas atau jembatan menuju akhirat.
Dunia Arab misalnya, mendapat limpahan minyak sehingga ada yang dijuluki negara petro dollar. Namun nikmat tersebut membuat para elit dan rakyatnya bernafsi-nafsi atau berfoya-foya. Mereka terkesan lupa bahwa kaum Muslim di belahan dunia lain masih terperangkap dalam kemiskinan. Ada juga yang mengalami penindasan dari non Muslim yaitu Palestina. Entah hingga kapan mereka berjuang sendiri dengan batu, darah, keringat, tulang dan dagingnya melawan mesin perang zionis nan canggih.
Sumber daya bangsa Arab sungguh besar dibanding Israel, namun beberapa kali perang selalu menghasilkan kekalahan bagi Arab. Rakyat Palestina dipaksa berjuang sendiri, jika ada bantuan jelas tidak sebanding dengan kemampuan. Sesungguhnya beberapa negara Arab petro dollar mampu membantu melebihi jumlah yang sekarang, termasuk nyawa, namun cinta dunialah yang merintangi.
4. Faham sesat
Indonesia adalah contoh yang jitu. Berbagai kelompok atau pendapat sesat sejak lama menghiasi perilaku kaum Muslim terhadap agamanya. Ada kelompok Islam Jama’ah, Ahmadiyyah, Inkar Sunnah, Jaringan Islam Liberal, Paramadina selain pendapat individu-individu.
Muncul tafsir laa ilaha illa Llah adalah tiada tuhan selain Tuhan, muncul pendapat muslimat boleh jodoh dengan lelaki non Muslim, muncul pendapat Iblis akan masuk surga karena hanya mau sujud kepada Allah, bukan kepada manusia, muncul pendapat bahwa 95% ajaran Islam bersifat relatif, muncul pula komentar bahwa al-Qur’an adalah kitab suci paling porno di dunia, dan berbagai ragam pendapat sesat lain, yang pasti masih berkelanjutan.
Mereka justru lebih berbahaya dibanding non Muslim, non Muslim lebih mudah diketahui antara lain dari nama pribadi, daerah asal atau saat dia ke rumah ibadatnya. Namun yang berlatar belakang Muslim sulit diketahui berfihak siapa atau mana, atau maunya apa, di antara mereka ada yang dikenal luas sebagai pakar agama Islam dengan titel kiyahi haji atau memakai nama-nama Arab. Mereka dapat saja shalat bersama kita, berpuasa bersama kita atau berhaji bersama kita, namun akan melawan jika kita ingin menampilkan nilai-nilai Islam bukan hanya di ruang privat.
Beberapa kelompok Muslim bahkan ada yang mendapat bantuan non Muslim untuk merusak akidah, ritual dan moral kaum Muslim. Ahmadiyyah percaya bahwa ada nabi setelah Muhammad, Inkar Sunnah menolak hadits walau shahih, Islam Jama’ah menolak ilmu agama yang tidak diriwayatkan oleh imam mereka. Paramadina menolak fakta bahwa sebutan Masjid al-Aqsha dalam Surah al-Isra’ ayat 1 bukan di al-Quddus al-Syarif (Yerussalem) namun somewhere in Sidrat al-Muntaha. Padahal Masjid al-Aqsha memang di Yerussalem.
Begitu banyak faham sesat di Indonesia sesungguhnya tak lepas dari belum tuntasnya da’wah Islam. Da’wah terabaikan karena konflik yang panjang dan kejam melawan imperialis. Hal tersebut terkait dengan apa yang dibahas dalam nomor 1. Akibat kerusakan aset dan kelangkaan ulama, umat kehilangan panutan atau tuntunan. Tercampurlah Islam dengan berbagai faham non Islam, antara lain yang dikenal dengan istilah Kejawen.
Revolusi terhadap seumat atau seagama termasuk revolusi melawan musuh yang terhebat adalah musuh yang terdekat. Sulit dideteksi karena kesamaan identitas dengan kita. Sejarah membuktikan bahwa revolusi intern mendapat tantangan berat dari intern pula, fihak ekstern hanya bermain di belakang layar. Mereka ikut campur langsung jika menilai bahwa revolusi tersebut mengancam langsung kepentingan mereka.
Gerakan Wahhabi atau Muwwahid misalnya, gerakan ini sesungguhnya tidak mengenalkan sesuatu yang baru bagi kaum Muslim. Mereka hanya mengajak kembali kepada kitab dan sunnah, lain tidak. Namun yang tampil dahulu melawan Wahhabi adalah Muslim juga yaitu Kerajaan Turki ‘Utsmaniyyah. Muhammad bin ‘Abdul Wahhab (1703-1792) berniat melaksanakan koreksi terhadap intern Muslim termasuk pemerintah ‘Utsmaniyyah. Gabungan pasukan Turki dan Mesir sempat menumpas gerakan tersebut namun tidak tuntas. Pada pertengahan abad ke-19 Wahhabi muncul lagi dan pada abad ke-20 membentuk Kerajaan Arab Saudi.
Gerakan Mahdi muncul di Sudan. Seorang ulama bernama Muhammad bin Ahmad juga menilai bahwa kaum Muslim sedang bobrok dan dia bertekad untuk menatanya. Gerakannya mendapat tantangan dari Mesir, ketika itu Mesir berada di bawah protektorat Inggris, istilah halus dari penjajahan. Mesir tak mampu melawan sendirian. Setelah berperang selama sekitar 15 tahun gabungan pasukan Mesir dan Inggris menumpas revolusi tersebut.
Tarikat Sanusiyyah tampil di Libya, tarikat adalah semacam jalan atau metoda dalam tasawuf. Tasawuf adalah beragama dengan cara mengerahkan segenap potensi ruhani atau batin mendekat kepada Tuhan, melepaskan rasa terikat kepada dunia. Kelompok ini mencoba membangkitkan rasa beragama yang mungkin dinilai berkurang dengan latihan ruhani tertentu. Kegiatan tarikat tersebut akhirnya berbenturan keras dengan imperialis Italia. Setelah berperang selama sekitar 20 tahun Revolusi Sanusiyyah dapat ditumpas namun fahamnya tidak. Pimpinan revolusi terhadap Italia adalah ‘Umar Mukhtar.
Indonesia agaknya tak mau ketinggalan, faham Wahhabi muncul dalam gerakan yang disebut Paderi atau Pidari di Minangkabau. Mereka bertekad membawa kembali kaum Muslim kepada kitab dan sunnah. Tantangan datang dari kaum yang disebut kaum adat semisal datuk dan penghulu. Karena tak mampu melawan Paderi sendirian, mereka minta bantuan kolonial Belanda. Setelah berperang selama sekitar 30 tahun –termasuk 16 tahun keterlibatan Belanda– gerakan Paderi dapat ditumpas namun fahamnya tetap hidup dan menjelma dengan nama lain.
Muhammadiyah adalah gerakan da’wah terhadap kalangan seumat yang juga berfaham Wahhabi, dan juga mendapat tantangan dari kaum Muslim. Lahir di jantung Kejawen yaitu Yogyakarta pada 1912. Berbeda dengan Paderi, Muhammadiyah menempuh cara damai dan hal itu mungkin berakibat organisasi tersebut masih bertahan dan berkembang dengan berbagai asetnya. Muhammadiyah menempuh cara demikian karena tahu bahwa saat itu mustahil mengobarkan perang karena kolonialisme Belanda telah kuat mencengkeram Nusantara, dan lagi pula Belanda saat itu mencoba menata ulang hubungannya dengan Nusantara ke arah yang lebih manusiawi walau tidak atau belum berniat melepas Nusantara. Suasana demikian memungkinkan Muhammadiyah menata da’wah yang sempat terabaikan akibat konflik bersenjata dengan kolonial.
Revolusi terhadap kalangan seumat antara lain mencakup:
a. Menuntun kaum Muslim kembali kepada kitab dan sunnah. Buang segala faham yang non Islam apalagi yang bertentangan dengan Islam. Da’wah harus kembali digiatkan, bukan hanya da’wah dengan bicara (da’wah bil lisaan) namun juga da’wah dengan bekerja (da’wah bil haal). Kampanye pelaksanaan syari’at Islam di ruang publik harus berdasar konsep yang lugas namun disampaikan dengan simpatik. Proposalnya harus disebar luaskan, dengan demikian publik diperkenankan untuk menguji proposal tersebut. Dengan demikian para pengusung syari’at Islam juga dituntut menguasai masalahnya atau produk yang mereka “jual”. Fahami betul falsafah iklan yang baik adalah mutu barang itu sendiri. Mereka harus mengenal mutu syari’at Islam.

b. Memperbaiki mutu duniawi umat, kaum Muslim harus menguasai ilmu, termasuk teknologi, dan mengislamkannya. Ilmu harus diyakini sebagai anugerah Tuhan sebagaimana iman atau agama, keduanya harus sejalan untuk membuahkan amal. Pelajaran ilmu alam perlu diberi corak agama, sehingga fenomena alam dinilai sebagai bagian dari kuasa Tuhan, pemanfaatannya harus sesuai dengan hukum Tuhan yang bekerja dalam alam. Sebagai contoh, jika hutan ditebang sembarangan maka hukum Tuhan yang ada ialah banjir, longsor atau kering. Bencana yang ada hendaklah dikaitkan dengan akibat pengabaian manusia terhadap hukum Tuhan tersebut.

Mempelajari alam hendaklah juga dengan kesadaran bahwa alam adalah tanda atau ayat Tuhan pula, yaitu ayat tak tertulis. Dalam kitab suci tersebut bahwa apa yang ada dalam alam adalah tanda-tanda Tuhan.

Menguasai teknologi memiliki tujuan untuk mengurangi ketergantungan kaum Muslim terhadap non Muslim. Kaum Muslim harus menyadari bahwa non Muslim memiliki potensi sebagai musuh, dan memang ada yang menjadi musuh. Terhadap non Muslim yang relatif simpatik, Islam mengajarkan untuk tidak segan-segan mengambil atau belajar yang bermanfaat dari mereka. Nabi menjelaskan bahwa ilmu atau hikmat adalah milik mu’min yang tercecer, karena itu kaum Muslim dituntut untuk memungutnya walau dari non Muslim. Nabi menjelaskan pula bahwa “tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”, hadits tersebut memiliki makna yang dalam yaitu “carilah ilmu walau jauh dan non Muslim”. Hingga kini hadits tersebut masih relevan mengingat Cina termasuk negeri yang maju teknologinya dan pesat pertumbuhan ekonominya, dan hingga detik ini masih dikenal sebagai (mayoritas) non Muslim.

c. Mewujudkan ukhuwwah Islamiyyah dengan kembali membentuk khilafah sedunia, semacam Pax Islamica, guna menghimpun potensi umat ke arah rahmatan lil ‘alamin. Sekaligus juga mempertahankan hak kaum Muslim. Jangan sampai ada Muslim yang teraniaya tanpa ada pembelaan. Sejak khilafah runtuh pada 1924, darah kaum Muslim lebih banyak tertumpah dan kaum Muslim lebih terpecah-belah. Secara berangsur, faham nasionalisme perlu diganti dengan internasionalisme. Dengan demikian dunia dapat dibagi menjadi 2 saja yaitu dunia Muslim dan dunia non Muslim. Hal tersebut pernah terjadi. Jika Muslim ditanya identitasnya, dengan mudah dia lebih menyebut agamanya. Kaum Muslim jika bermusafir atau menetap di suatu negeri Muslim cukup melapor kepada pejabat setempat setingkat RT / RW. Tidak perlu pakai paspor, visa atau hal semacamnya karena dunia Muslim sudah menjadi 1satu, yaitu negara berdasar Islam

d. Membebaskan kaum Muslim yang tertindas oleh non Muslim dengan dana, metoda dan senjata. Perlu propaganda bahwa menuntut keadilan bukanlah terorisme. Jika pun ada terorisme perlu propaganda bahwa hal tersebut adalah reaksi, bukan aksi. Tegasnya reaksi terhadap kezhaliman. Namun perlawanan bersenjata diusahakan sebagai pilihan akhir guna mengurangi korban
Jaringan antara organisasi yang bersifat sosial dengan kelompok perlawanan harus terjalin seerat sekaligus serahasia mungkin. Dengan demikian kelompok perlawanan –selain mengusahakan sendiri dana– juga secara rutin memungkinkan menerima dana dari organisasi sosial.

Aku dan Hidup

Aku dan Hidup

Kesiangan rindang yang lalu
Ada dan tidaknya dalam alur nada
Mencari serabut rasa yang tak mampu terjamah
Walau t’lah sejuta harapan tertabuh

Aku yang mencari kepastian hidup
Arti dan arti yang di telusuri
Ku coba redam segala rasa demi cita
Aku yang kan mencari

Andai arti itu dapat ku jamah
Aku akan tetap mencari
Sampai hati akan puas mengerti
Aku yang takkan berhenti tuk mencari

Walaupun tak terjamah seribu asa itu kini
Seutas makna ungkapan ini yang bertanya
Aku yang tak pernah mengerti
Atau aku yang ‘kan mngerti

Apalah aku bersama jawaban-jawaban itu
Percuma jika tak ku maknai
Aku yang menjalani hidup
Dan aku yang menjalani pilihan

Percaya atau tidak tapi ini aku
Yang bangga menjalani pilihan
Karena hidup adalah pilihan
Dan karena hidup adalah sebuah perayaan
Dan aku merayakannya
kuasaNya memberikan arti
dalam setiap papahan jiwa


By:
Arda’s

Rabu, 10 Juni 2009

HAK ASASI MANUSIA (HAM)

PENEGAKAN
HAK ASASI MANUSIA (HAM)

Pengertian Hak Asasi Manusia
HAM adalah hak-hak yang secara inheren melekat dalam diri manusia, dan tanpa hak itu manusia tidak dapat hidup sebagai manusia.
HAM bukan hanya merupakan hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia sejak dilahirkan kedunia, tetapi juga merupakan standar normative yang bersifat universal bagi perlindungan hak-hak dasar itu dalam lingkup pergaulan nasional, regional, dan global.
Secara sederhana, hak asasi manusia dapat diartikan sebagai hak dasar (asasi) yang dimiliki dan melekat pada manusia karena kedudukannya sebagai manusia. Tanpa adanya hak tersebut, manusia akan kehilangan harkat dan martabatnyasebagai manusia. Hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, bukan manusia atau penguasa. Hak ini sifatnya sangat mendasar bagi hidup dan kehidupan manusia, serta bersifat kodrati, yakni ia tak bias terlepas dari dan dalam kehidupan manusia sebagai penyandang dari hak tersebut.

Jenis-jenis hak Asasi Manusia.
Menurut deklarasi PBB yang isinya terdiri dari 30 pasal tersebut secara singkat dijelaskan seperangkat hak-hak dasar manusia yang sangat sarat dengan hak-hak yuridis. Sepeti hak untuk hidup, hak tidak menjadi budak, hak tidak disiksa, dan tidak ditahan, hak dipersamakan, dimuka hukum (equality before the law), hak untuk mendapatkan praduga tak bersalah, dan sebagainya. Hak-hak lain juga dimuat dalam deklarasi tersebut, seperti hak-hak akan nasionalitas, pemlikan, dan pemikiran;hak untuk menganut agama dan memperoleh pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan berbudaya.



Sejarah Perkembangan HAM
Setelah dunia mengalami dua perang yang melibatkan hamper seluruh kawasan dunia, dimana hak-hak asasi pada saat itu diinjak-injak, timbul keinginan untuk merumuskan hak-hak asasi manusia itu di dalam suatu naskah internasional. Dengan kata lain, lahirnya deklarasi HAM universal merupakan reaksi atas kejahatan keji kemanusiaan yang dilakukan oleh kaum sosialis nasional di Jerman pada 1933-1945.
1. Generasi Pertama
Generasi ini berpandangan bahwa substansi HAM berpusat pada aspek hukum dan politik. Fokus generasi pertama pada aspek hukum dan politik tersebut disebabkan oleh dampak dan situasi perang dunia II, dimana Negara-negara yang baru merdeka berkeininan untuk menciptakan suatu tertib hukum yang baru. Oleh karena itu seperangkat hukum yang disepakati tersebut sangat sarat dengan hak-hak yuridis, seperti hak untuk hidup, hak tidak menjadi budak, hak tidak disiksa dan ditahan, hak kesamaan di dalam hukum, hak akan fair trial dan praduga tak bersalah, dan sebagainya.
2. Generasi Kedua
Kemerdekaan yang diperoleh banyak Negara dunia ketiga setelah perang dunia II menuntut lebih dari sekadar hak-hak yuridis. Pengsisan kemerdekaan berrti juga pembangunan social, ekonomi, politik dan budaya. Sejlan dengan itu, substansi dari hak asasi manusia harus secara eksplisit merumuskan juga hak-hak social, ekonomi, politik dan budaya. Jadi, pada generasi kedua ini, diperlukan adanya adanya perluasan horizontal dari konsep hak asasi manusia.
3. Generasi Ketiga
Generasi kedua yang menitikberatkan pada aspek social, ekonomi, politik dan budaya telah mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan di dalam kehidupan bermasyarakat, karena dengan memprioritaskan berbagai aspek lain, aspek hukum menjadi tertinggal. Kondisi ketidakseimbangan perkembangan (uneven depelopment) tersebut menyebabkan timbulnya berbagai kritik dari banyak kalangan, sehingga melahirkan generasi ketiga yang menjanjikan adanya kesatuan antara hak ekonomi, sosial budaya, politik dan hukumdalam satu keranjang yang disebut dengan hak pembangunan (the rights of Development). Istilah ini diberikan oleh komisi keadilan Internasional (Internationa lcomission of Justice). Generasi HAM ketiga ini merupakan sintesis dari generasi pertama dan kedua.
4. Generasi Keempat
Generasi keempat banyak melakukan kritik terhadap peran Negara yang sangat dominan dalam proses pembangunan pada generasi sebelumnya yang lebi menekankan pembangunan ekonomi sebagai prioritas utama, karena telah terbukti telah menafikkan hak-hak rakyat, mengabaikan kesejahteraan rakyat, dan tidak berdasarkan pada faktor kebutuhan rakyat.

HAM Dalam Perspektif Islam
Islam sebagai agama universal mengandung prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia. Sebagai sebuah konsep ajaran, Islam menempatkan manusia pada kedudukan yang sejajar dengan manusia yang lainnya..
Dalam pandangan Islam, yang dimaksud hak asasi manusia adalh hak-hak kodrati yang dianugerahkan Allah kepad manusia, yang tidak dapat dicabut atau dikurangi oleh kekuasaan atau badan apapun (Maududi, 1998: 11-12).
Hak-hak asasi manusia dalam Islam merupakan standar normatif yang ditetapkan Allah atau dibuat oleh manusia berdasarkan firman Allah untuk mengatur hubungan sesame mnusia, baik dalam hubungan individu dengan individu, individu dengan masyarakat, maupun dalam hubungan warga Negara dengn Negara dan hubungan antar-negara.
Dalam deskripsi tersebut akan dijelaskan beberapa hak asasi manusia dalam Islam yang meliputi hak hidup.
 Hak Hidup
Hak hidup adalah hak manusia atas kehidupan yang dianugerahkan oleh Allah kepada setiap manusia guna menjamin perkembangan hidup manusia secara alamiah.
Hak hidup adalah hak asasi paling fundamental bagi setiap manusia, Karena kehidupan merupakan syarat untuk mendapatkan hak-hak asasi lainnya. Di samping itu, kehidupan merupakan sumber eksistensi diri manusia.
Islam menjunjung tinggi hak hidup manusia yang dinyatakan secara eksplisit oleh firman Allah dan Hadits. Alla berfirman dalm Al-Qur’an:
“…Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan Karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan Karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan dia Telah membunuh manusia seluruhnya….”(QS. Al-Maidah : 32)

 Hak Kebebasan Beragama
Kebebsan bergama adalah kebebasan manusia untuk memilih dan mememluk suatu agama yang dia yakini kebenarannya berdasarkan pertimbangan akal dan nuraninya.
Doktrin Islam menjunjung tinggi kebasan beragama, karena agam merupakan keyakinan dan pandangan hidup manusia. Ide kebebasan beragama dalam islam tercermin dari ketentuan Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah : 256) yang menyatakan:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.”
Islam menolak paham pemaksaan beragama, karena hal itu bertentangan dengan hakikat Islam itu sendiri yang menghendaki ketundukan manusia kepada Allah secara sukarela (berdasarkan kesadaran diri). Pemaksaan kehendak untuk memasuki Islam juga bertentangan dengan kodrat manusia sebagai insan yang merdeka.
 Hak atas Keadilan
Keadilan adalah hak manusia untuk mendapatkan sesuatu hal yang menjadi haknya dari orang lain. Kata “keadilan” dipergunakan dalam banyak konteks, adakalanya digunakan untuk menyebut, perlakuan yang sama, dan keseimbangan atau kesebandingan.
Keadilan mempunyai kedudukan sangat penting dalam system nilai Islam, karena ia merupakansatu-satunya prinsip penciptaan dan pengturan alam semesta dan segala isinya. Disamping itu, keadilan juga merupakanprinsip pokok dalam dalam tata pergaulan (hubungan) manusia, dan juga merupakan prinsip pertanggungjawaban manusia dalam peradilan akhirat.
Perintah berlaku adil terdapat dalam Al-Qur’an (QS. Al-Maidah : 8)
“Janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa”
 Hak Kebebasan Berpikir dan Berpendapat
Kebebasan berpikir dan kebebasan berpendapat merupakan bagian dari kebebasan berekspresi diri dalam kehidupan masyarakat.
Islam menghargai kebebasan berpikir dan berpendapat, karena hal itu sesuai dengan karakteristik manusia sebagai insane yang bebas dan merdeka. Dalam banyak ayat Al-Qur’an ditegaskan tentang dorongan untuk berpikir;
“ Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS. Shaad : 29)
 Hak Bekerja
Hak lain yang juga diatur dalam Islam adalah hak manusia untuk melakukan pekerjaan. Beberapa doktrin ajaran Islam yang berkaitan dengan hak bekerjaantara lain:
a. QS. At-Taubah: 105
“Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang Telah kamu kerjakan.”
b. Hadits Rasulullah
“Berikanlah upah seorang buruk sebelum kering keringatnya, dan beritahukanlah upahnya sewaktu dia bekerja.” (HR. Al-Baihaqy)
 Hak Politik
Abdul Karim Zaidan dalam bukunya Hak-Hak Rakyat dan Kewajiban Dalam Islam membahas hak-hak politik dalam Islam, yang meliputi:hak memilih kepala Negara;hak musyawarah;hak melakukan control;hak memecat kepala Negara;hak mencalonkan diri;dan hak untuk menjadi pegawai negeri.
Beberapa doktrin islam mengenai hak-hak politik, diantaranya adalah hadis shahih dari Abdrrahman Ibn Samurah bahwa Nabi SAW bersabda kepadanya :
“Hai Abdurrahman Ibn Samurah janganlah enngkau meminta jabatan. Jika engkau diberinya karena meminta, engkau akan diberatkannya. Dan jika engkau diberinya tanpa meminta, maka engkau akan ditolong untuknya.”

Selasa, 09 Juni 2009

Membangun Kesadaran Kritis Mahasiswa dalam Iklim Akademis

Membangun Kesadaran Kritis Mahasiswa dalam Iklim Akademis
Oleh. Muhammad syaiful munir

a). Tipologi Kesadaran Mahasiswa Dan Konstruksi Pemikiran Islam
Untuk mengkaji pertualangan mahasiswa kita harus membuka cakrawala pengetahuan agar lebih komprehensif, karena mahasiswa bukanlah fenomena yang sederhana dan mudah kita pahami hanya dengan sebelah mata. Di tubuh mahasiswa terdapat pelapisan yang cukup heterogen. Dimana dalam tubuh mahasiswa terdapat pelapisan dalam membangun kesadaran berbangsa, berpolitik, dan beragama.
Ada tiga tipe kesadaran mahasiswa menurut paulo freire yaitu mahasiswa Tenggelam, Muncul, Terbuka. Yang penjelasannya sebagai berikut:
Pertama, mahasiswa tertutup dengan kesadaran “tenggelam” mereka bergantung kepada masarakat sentral yang memanipulasi. Ia membiarkan kaum elit, meminjam istilah netzche “tuhan yang tampak” atau manusia superman dengan kehendak kuasanya memaksakan pola-pola budaya dan agama mereka mengeksploitasi massa. Tipe Mahasiswa seperti ini tidak pernah terangsang untuk berpartisipasi dalam kehidupan social politik, social keagamaan, sehingga melahirkan budaya bisu. kesadaran mahasiswa yang tenggelam melahirkan model pembacaan tekstual-formalistik. Model Pembacaan ini memusat kepada teks, menjadikan teks sebagai media representasi sang pengarang. Menjadikan sebuah kebenaran yang tidak bisa disentuh oleh realitas diluar teks, inilah yang dalam analisis wacana dinamakan “eksternalisasi teks” model ini melahirkan pemikiran keislaman yang bersifat introver-strukturalistik. Mahasiswa dengan kesadaran ini mengikuti arus pemikiran penguasa dalam menafsirkan teks keislaman, sehingga dengan sikap ketertutupannya terhadap dunia luar membuat mahasiswa itu sendiri terperangkap oleh “jaring-jaring kuasa” yang telah mereduksi pesan tuhan dengan kepentingan personal sipembuat teks. Model pembacaan ini menurut abide al jabiri adalah nalar bayani.
Kedua, mahasiswa retak kesadarannya mulai “muncul”, ia tidak lagi bisu, ia mulai berpikir dan menyadari ketergantungannya, namun mereka tidak bisa bersikap dan berbuat banyak sehingga masih tetap berada dibawah kendali “kuda-kuda kuasa”. Model kesadaran mahasiswa yang mulai muncul melahirkan model pembacaan tekstual pasif, dalam arti kata membaca sebuah teks keislaman dengan rasa curiga terhadap sipembuat teks. Mereka tahu bahwa dirinya sebenarnya dibelenggu oleh penafsir melalui pemikirannya yang tertuang dalam teks yang dibacanya. namun mereka tidak berani untuk melakukan pembacaan yang berbeda terhadap sebuah teks yang diragukan keotentikannya, karena mereka meyakini bahwa dirinya tidak punya kekuasaan, keberanian dan kekuatan untuk melampaui teks yang menjadi sasaran empuk untuk ditafsirkan. Sehingga mereka tetap berada dalam belenggu penafsir. Tipe mahasiswa ini tidak mampu berbuat apa-apa, mereka hanya memendam keinginan itu sebagai bentuk kerja imajinasi yang bersifat utopis dan pada akhirnya untuk menyalurkan keinginannya mereka menggunakan jalan lain untuk mencari islam dengan kekuatan intuisi. Kekuatan ini dalam istilah abied al jabiri dinamakan nalar irfani yang sering digunakan oleh orang sufi.
Ketiga, mahasiswa terbuka dengan kesadaran kritis, mereka selalu bersikap kreatif dengan selalu curiga terhadap karya orang lain khususnya “manusia superman”. Ia selalu menolak sesuatu yang memaksa dirinya dan menghilangkan kesadarannya. Kesadaran mahasiswa kritis melahirkan pembacaan kritis kontekstual yang memusat kepada pembaca dalam menasirkan teks keislaman. Tipe mahasiswa ini meyakin bahwa dalam sebuah teks, ada kekuatan ideology pengarang yang bersembunyi dibalik teks. Untuk menghilangkan jejak pengarang, mereka keluar dari lingkaran kuasa sipembuat teks dan menafsirkan teks sesuai dengan konteks dimana teks itu ditafsirkan. Model ini oleh abide al jabiri dinamakan nalar burhani yang emusat kepada pembaca dan memperhatikan realitas, karena teks merupakan cermin retak dari realitas atau istilah hanafi “realitas mendahului pemikiran”.
Ketiga tipe tersebut akan mempengaruhi model pemikiran mahasiswa dalam membaca teks keislaman yang berwarna warni.
b). Metode Berfikir Kritis
Berpikir kritis adalah upaya yang dilakukan dengan penuh kesadaran untuk mempertanyakan kembali apapun yang dalam kehidupan manusia telah dianggap mapan dan tak berubah. Bisa jadi berupa adat istiadat, etika, pemahaman agama, pengetahuan dll.
Karena itu berpikir kritis meniscayakan perlunya seperangkat metode atau pendekatan. Tanpa metode dan pendekatan berpikir kritis akan menjadi suatu aktifitas yang tanpa arah, dan tidak menghasilkan suatu pandangan atau pemahaman baru yang mencerahkan.dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemahaman orang terhadap sesuatu bergantung pada metode atau pendekatan apa yang ia gunakan. Sebutlah misalnya kasus pluralitas pemahaman agama. Mengapa dalam tradisi keilmuan islam banyak lahir tafsir al quran? Jawabnya adalah karena tidak ada satupun tafsir al quran yang dapat di klaim sebagai suatu pemahamn al quran yang final, maka tak heran, jika dalam khazanah keilmuan al quran banyak lahir tafsir-tafsir seperti tafsir fiqh,tafsir sufi,tafsir adabi ijtima’i dll.
Selanjutnya dalam bidang kajian fiqh, meskipun sumbernya sama-sama al quran dan al hadist, tapi ikhtilaf pemahaman tidak dapat dihindari,sehingga tidak mengejutkan jika dalam pemikiran hukum islam lahir beragam madzhab, yang mengakibatkan perbedaan paraktek-praktek ritual keagamaan.
Dalam bidang teologi, kita mengenal adanya teologi asy’ariyah dan teologi mu’tazilah. Adanya dua aliran teologi ini, tidak bisa dilepaskan dari perbedaan metode atau pendekatan yang digunakan dalam berteologi.
Contoh-contoh diatas menunjukkan bahwa dalam tradisi keilmuan islam berpikir kritis adalah sesuatu yang dijunjung tinggi, bukan sesuatu yang ditakuti. Tapi yang menjadi persoalan muncul sebuah anggap bahwa apa yang telah dihasilkan oleh ulama terdahulu sesuatu yang final karena itu harus di ikuti tanpa sikap kritis. Parahnya lagi ada anggapan bahwa kemampuan intelektualitas ulama’ terdahulu tidak dapat dilampaui oleh intelektual islam masa sekarang sehingga pemahaman ulang terhadap doktrin keagamaan adalah tidak boleh dilakukan untuk tidak mengatakan haram.
Di satu sisi, akibat perbedaan pemahaman itu, kerap kali lahir suatu klaim kebenaran, yang tidak jarang melahirkan anarkhi dan kekerasan. Suatu kelompok tertentu menklaim bahwa pemahaman keagamaannya saja yang paling benar, sedangkan pemahaman keagamaan lainnya salah. Karena itu yang berhak masuk surga adalah kelompoknya saja,sedangkan kelompok lainnya tidak.
Vis a vis dengan kenyataan diatas, apa yang harus anda lakukan sebagai mahasiswa?

jeritan hati

Jika memang diruku bukanlah menjadi pilihan hatimu
Mungkin sudah takdirnya kau dan aku tak mungkin bersatu
Harus selalu kau tau kumencintamu
Di sepanjang waktuku
Harus slalu kau tau semua abadi untuk slamanya
Karena kuyakin disetiap hembus nafasku
Hanya dirimu yang selalu kutunggu
Karena kuyakin disetiaphembus
Hanya dirimu nafasku kurindu
Alunan lirik lagu miliknya ungu ini mungkin sedikit mewakili perasaan yang saat ini sedang aku rasakan.

Malam yang pekatnya membuatku hanyut dalam lamunan. Sejauh mata memandang yang terlintas cuma bayang-bayang hampa tanpa gemerlapnya kemilau cahaya, seakan malam turut melukiskan susasana hati yang kini sedang kurasakan.
Tuhan..!!!!
kenapa engkau anugerahkan semua angan dan harapan Kikelia hambamu ini tidak bisa mendapatkan…..? aku tau sebagai manusia yang banyak dosa tidak mungkin aku berhak untuk menuntut keadilan. Tapi, sebagai hambamu bisakah aku mendapatkan harapan yang aku dambakan…?
Tuhan……..?
Kenapa semua ini harus terjadi kepada diriku…? Disaat aku sedang butuh teman untuk berbagi dan tempat untuk menyandarkan diri ini dia malah pergi menjauh dari diriku. Hingga aku harus menahan semua ini sendiri, aku tidak bisa dan tidak mungkin kuat menahan semua ini sendiri.
Tuhan….!!!!!
Bukannya aku mau mengeluhkan semua ini, bukan juga aku menyesali semua yang telah terjadi pada ku. Tapi bolehkah aku merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Mereka bisa merasakan betapa bahagianya hidup berdampingan dengan orang yang merka sayang tanpa adanya masalah yang datang, mereka merasakan kebahagiaan serta kesenangan. Tapi kenapa aku tidak……?
Aku sudah cukup bahagia meskipun aku tidak bisa memiliki dia seutuhnya. Andaikan aku bisa merasakan pelukan hangat yang penuh kasih sayang darinya aku akan sangat bahagia bahkan aku rela meninggal kan kefanaan ini asalkan dia bisa merasakan apa yang sedang aku rasakan.
Aku tau hidup didunia ini Cuma sementara. Bahkan semua yang hidup sudah pasti akan meninggalkan dunia fana ini. Keabadian Cuma milikmu tidak akan dapat digantikan dengan apa dan siapapun itu.
Andaikan semua ini akan berahir aku akan berusaha untuk tabah dan tegar, meskipun sebenarnya itu sangat sulit untuk kuhadapi. Rasa sayang ini sudah terlanjur dalam mengisi relung hati, aku tidak mungkin siap untuk semua itu .

REVIEW PEMIKIRAN FILSAFAT ABAD YUNANI, ABAD PERTENGAHAN, ABAD MODERN DAN ABAD POST-MODERN

REVIEW PEMIKIRAN FILSAFAT ABAD YUNANI, ABAD PERTENGAHAN, ABAD MODERN DAN ABAD POST-MODERN

Oleh. Muhammad syaiful munir

A. Karakteristik pemikiran abad Yunani

Filsafat Yunani adalah sebuah filsafat rasional pertama yang pernah ada dalam sejarah kehidupan manusia. Pada abad ini mungkin kita kenal yang namanya Thales, inilah orang pertama yang mengajukan pertanyaan yang sangat mendasar tentang kosmos, What is the nature of the world stuff ? dan dia menjawab Water. Pertanyaan ini sangat mendasar sekali, karena pertanyaan dan jawabannya itu menggunakan akal, tidak menggunakan agama atau kepercayaan lainnya. Alasannya ialah karena air penting bagi kehidupan. Disinilah akal mulai digunakan dan lepas dari keyakinan atau kepercayaan. Pada tahap permulaan, yaitu pada Thales dan pemikir-pemikir lainnya akal mulai menonjol dominasinya meskipun iman juga masih memainkan perannya.

Dalam sejarah Yunani, dapat dikatakan bahwa filsafat pada abad ini adalah di dominasi oleh akal “rasio”. Hal ini terbukti pada zaman sofis. Pada zaman ini akal dapat dikatakan menang mutlak. Manusia adalah ukuran kebenaran dan semua kebenaran bersifat relatif, yang merupakan ciri filsafat sofisme. Jika semua kebenaran relatif, maka yang terjadi adalah kekacauan kebenaran. Akibat selanjutnya adalah teori sains diragukan, semua kepercayaan dan akidah keagamaan dicurigai sehingga manusia pada waktu itu hidup tanpa pegangan. Dan lebih parah lagi pada zaman ini ditambahi oleh pembela-pembela kebenaran, yaitu kaum sofis. Mereka mengajar, menjadi guru terutama bagi pemuda yang belajar filsafat, mereka menjadi filosof dan menjadi hakim.

Terlepas dari itu dapat kita pahami bahwa pemikiran pada abad ini, terutama pemikiran sofis yang menganggap bahwa kebenaran itu relatif. Pemikiran inilah yang menjadi penyebab kekacauan dan menggoyahkan keyakinan Agama. Dari sinilah muncul seorang tokoh yang hendak menyelamatkan pemikiran-pemikiran orang Yunani. Dialah Socrates, orang pertama yang ingin menyelamatkan pemikiran Yunani dari relativisme. Metode yang digunakan oleh Socrates hampir sama dengan orang-orang sofis. Dia berkata bahwa tidak semua kebenaran itu relatif, ada kebenaran yang sifatnya objektif atau kebenaran umum yang dapat diterima oleh semua orang. Akan tetapi pemikiran Scrates harus rela dibayar dengan nyawa yang ia milki, dengan dipaksa minum racun.

Masa Yunani Kuno. Pada tahap awal kelahirannya filsafat menampakkan diri sebagi suatu bentuk mitologi, serta dongeng-dongeng yang dipercayai oleh Bangsa Yunani, baru sesudah Thales (624-548 S.M) mengemukakan pertanyaan aneh pada waktu itu, filsafat berubah menjadi suatu bentuk pemikiran rasional (logos). Pertanyaan Thales yang menggambarkan rasa keingintahuan bukanlah pertanyaan biasa seperti apa rasa kopi ?, atau pada tahun keberapa tanaman kopi berbuah ?, pertanyaan Thales yang merupakan pertanyaan filsafat, karena mempunyai bobot yang dalam sesuatu yang ultimate (bermakna dalam) yang mempertanyakan tentang Apa sebenarnya bahan alam semesta ini (What is the nature of the world stuff ?), atas pertanyaan ini indra tidak bisa menjawabnya, sains juga terdiam, namun Filsuf berusaha menjawabnya. Thales menjawab Air (Water is the basic principle of the universe), dalam pandangan Thales air merupakan prinsip dasar alam semesta, karena air dapat berubah menjadi berbagai wujud
Kemudian silih berganti Filsuf memberikan jawaban terhadap bahan dasar (Arche) dari semesta raya ini dengan argumentasinya masing-masing. Anaximandros (610-540 S.M) mengatakan Arche is to Apeiron, Apeiron adalah sesuatu yang paling awal dan abadi, Pythagoras (580-500 S.M) menyatakan bahwa hakekat alam semesta adalah bilangan, Demokritos (460-370 S.M) berpendapat hakekat alam semesta adalah Atom, Anaximenes (585-528 S.M) menyatakan udara, dan Herakleitos (544-484 S.M) menjawab asal hakekat alam semesta adalah api, dia berpendapat bahwa di dunia ini tak ada yang tetap, semuanya mengalir . Variasi jawaban yang dikemukakan para filsuf menandai dinamika pemikiran yang mencoba mendobrak dominasi mitologi, mereka mulai secara intens memikirkan tentang Alam/Dunia, sehingga sering dijuluki sebagai Philosopher atau akhli tentang Filsafat Alam (Natural Philosopher), yang dalam perkembangan selanjutnya melahirkan Ilmu-ilmu kealaman.
Pada perkembangan selanjutnya, disamping pemikiran tentang Alam, para akhli fikir Yunani pun banyak yang berupaya memikirkan tentang hidup kita (manusia) di Dunia. Dari titik tolak ini lahir lah Filsafat moral (atau filsafat sosial) yang pada tahapan berikutnya mendorong lahirnya Ilmu-ilmu sosial. Diantara filsuf terkenal yang banyak mencurahkan perhatiannya pada kehidupan manusia adalah Socrates (470-399 S.M), dia sangat menentang ajaran kaum Sofis

A. Karakteristik pemikiran abad pertengahan

Jika pada abad Yunani rasio sangat mendominasi sebuah pemikiran, maka pada pertengahan ini rasio benar-benar telah kehilangan jati dirinya. Hal ini tergambar dalam pemikiran Plotinus, yang mengatakan filsafat rasional dan sains tidak penting mempelajariny merupakan usaha yang membuang waktu dan sia-sia saja. Oleh karena itu tujuan filsafat secara umum adalah bersatu dengan Tuhan. Plotinus juga berkata bahwa Tuhan bukan untuk dipahami melainan untuk dirasakan.dan di imani. Jadi dalam hidup, manusia akan dituntun oleh suara kitab suci, Injil.

Augustinus, potensi manusia yang diakui pada zaman Yunani diganti dengan kuasa Tuhan. Ia mengatkan bahwa kebenaran itu tidak relatif melainkan kebenaran itu mutlak yaitu kebenaran Agama. Pendapat Augustinus yang lain adalah bahwa bumi adalah pusat jagat raya, Heliosentrisme ditolaknya karena ia berpegang pada ajaran Injil. Intelektualitas pemikiran tidak penting, cinta kepada Tuhan lebih penting.

Jika mengikuti alur pemikiran Anselmus dapat dikatakan kalau filsafat abad pertengahan terletak pada rumusan terkenalnya yaitu credo ut intelligam (beriman dulu baru mengerti).

Abad Pertengahan. Semenjak meninggalnya Aristoteles, filsafat terus berkembang dan mendapat kedudukan yang tetap penting dalam kehidupan pemikiran manusia meskipun dengan corak dan titik tekan yang berbeda. Periode sejak meninggalnya Aristoteles (atau sesudah meninggalnya Alexander Agung (323 S.M) sampai menjelang lahirnya Agama Kristen oleh Droysen (Ahmad Tafsir. 1992) disebut periode Hellenistik (Hellenisme adalah istilah yang menunjukan kebudayaan gabungan antara budaya Yunani dan Asia Kecil, Siria, Mesopotamia, dan Mesir Kuno). Dalam masa ini Filsafat ditandai antara lain dengan perhatian pada hal yang lebih aplikatif, serta kurang memperhatikan Metafisika, dengan semangat yang Eklektik (mensintesiskan pendapat yang berlawanan) dan bercorak Mistik.
Filsafat abad pertengahan sering juga disebut filsafat scholastik, yakni filsafat yang mempunyai corak semata-mata bersifat keagamaan, dan mengabdi pada teologi. Pada masa ini memang terdapat upaya-upaya para filsuf untuk memadukan antara pemikiran Rasional (terutama pemikiran-pemikiran Aristoteles) dengan Wahyu Tuhan sehingga dapat dipandang sebagai upaya sintesa antara kepercayaan dan akal. Keadaan ini pun terjadi dikalangan umat Islam yang mencoba melihat ajaran Islam dengan sudut pandang Filsafat (rasional), hal ini dimungkinkan mengingat begitu kuatnya pengaruh pemikiran-pemikiran ahli filsafat Yunani/hellenisme dalam dunia pemikiran saat itu, sehingga keyakinan Agama perlu dicarikan landasan filosofisnya agar menjadi suatu keyakinan yang rasional.
Pemikiran-pemikiran yang mencoba melihat Agama dari perspektif filosofis terjadi baik di dunia Islam maupun Kristen, sehingga para ahli mengelompokan filsafat skolastik ke dalam filsafat skolastik Islam dan filsafat skolastik Kristen.
Di dunia Islam (Umat Islam) lahir filsuf-filsuf terkenal seperti Al Kindi (801-865 M), Al Farabi (870-950 M), Ibnu Sina (980-1037 M), Al Ghazali (1058-1111 M), dan Ibnu Rusyd (1126-1198), sementara itu di dunia Kristen lahir Filsuf-filsuf antara lain seperti Peter Abelardus (1079-1180), Albertus Magnus (1203-1280 M), dan Thomas Aquinas (1225-1274). Mereka ini disamping sebagai Filsuf juga orang-orang yang mendalami ajaran agamanya masing-masing, sehingga corak pemikirannya mengacu pada upaya mempertahankan keyakinan agama dengan jalan filosofis, meskipun dalam banyak hal terkadang ajaran Agama dijadikan Hakim untuk memfonis benar tidaknya suatu hasil pemikiran Filsafat (Pemikiran Rasional).

B. Karakteristik pemikiran abad modern

Berbicara abad modern tidak akan lepas dari tokoh fenomenal yang sangat terkenal yaitu, Rene Descartes. Karena dialah yang melepaskan kebebasan berfilsafat dari hegemoni Agama. Zaman ini juga sering disebut dengan zaman Renaissance. Seiring dengan terbukanya untuk berfikir, maka pada abad ini banyak bermunculan aliran, diantaranya Rasionalisme, Empirisisme, Idealisme dan pecahan-pecahan dari tiga aliran tersebut. Dari semua aliran tersebut dapat dipahami kalau semua pemikiran mengacu pada pemikiran Yunani.

Masa Modern. Pada masa ini pemikiran filosofis seperti dilahirkan kembali dimana sebelumnya dominasi gereja sangat dominan yang berakibat pada upaya mensinkronkan antara ajaran gereja dengan pemikiran filsafat. Kebangkitan kembali rasio mewarnai zaman modern dengan salah seorang pelopornya adalah Descartes, dia berjasa dalam merehabilitasi, mengotonomisasi kembali rasio yang sebelumnya hanya menjadi budak keimanan.
Diantara pemikiran Desacartes (1596-1650) yang penting adalah diktum kesangsian, dengan mengatakan Cogito ergo sum, yang biasa diartikan saya berfikir, maka saya ada. Dengan ungkapan ini posisi rasio/fikiran sebagai sumber pengetahuan menjadi semakin kuat, ajarannya punya pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan, segala sesuatu bisa disangsikan tapi subjek yang berfikir menguatkan kepada kepastian.
Dalam perkembangnnya argumen Descartes (rasionalisme) mendapat tantangan keras dari para filosof penganut Empirisme seperti David Hume (1711-1776), John Locke (1632-1704). Mereka berpendapat bahwa pengetahuan hanya didapatkan dari pengalaman lewat pengamatan empiris. Pertentangan tersebut terus berlanjut sampai muncul Immanuel Kant (1724-1804) yang berhasil membuat sintesis antara rasionalisme dengan empirisme, Kant juga dianggap sebagai tokoh sentral dalam zaman modern dengan pernyataannya yang terkenal sapere aude(berani berfikir sendiri), pernyataan ini jelas makin mendorong upaya-upaya berfikir manusia tanpa perlu takut terhadap kekangan dari Gereja.
Pandangan empirisme semakin kuat pengaruhnya dalam cabang ilmu pengetahuan setelah munculnya pandangan August Comte (1798-1857) tentang Positivisme. Salah satu buah pikirannya yang sangat penting dan berpengaruh adalah tentang tiga tahapan/tingkatan cara berpikir manusia dalam berhadapan dengan alam semesta yaitu : tingkatan Teologi, tingkatan Metafisik, dan tingkatan Positif
Tingkatan Teologi (Etat Theologique). Pada tingkatan ini manusia belum bisa memahami hal-hal yang berkaitan dengan sebab akibat. Segala kejadian dialam semesta merupakan akibat dari suatu perbuatan Tuhan dan manusia hanya bersifat pasrah, dan yang dapat dilakukan adalah memohon pada Tuhan agar dijauhkan dari berbagai bencana. Tahapan ini terdiri dari tiga tahapan lagi yang berevolusi yakni dari tahap animisme, tahap politeisme, sampai dengan tahap monoteisme.
Tingkatan Metafisik (Etat Metaphisique). Pada dasarnya tingkatan ini merupakan suatu variasi dari cara berfikir teologis, dimana Tuhan atau Dewa-dewa diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak misalnya dengan istilah kekuatan alam. Dalam tahapan ini manusia mulai menemukan keberanian dan merasa bahwa kekuatan yang menimbulkan bencana dapat dicegah dengan memberikan berbagai sajian-sajian sebagai penolak bala/bencana.
Tingkatan Positif (Etat Positive). Pada tahapan ini manusia sudah menemukan pengetahuan yang cukup untuk menguasai alam. Jika pada tahapan pertama manusia selalu dihinggapi rasa khawatir berhadapan dengan alam semesta, pada tahap kedua manusia mencoba mempengaruhi kekuatan yang mengatur alam semesta, maka pada tahapan positif manusia lebih percaya diri, dengan ditemukannya hukum-hukum alam, dengan bekal itu manusia mampu menundukan/mengatur (pernyataan ini mengindikasikan adanya pemisahan antara subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahui) alam serta memanfaatkannya untuk kepentingan manusia, tahapan ini merupakan tahapan dimana manusia dalam hidupnya lebih mengandalkan pada ilmu pengetahuan.
Dengan memperhatikan tahapan-tahapan seperti dikemukakan di atas nampak bahwa istilah positivisme mengacu pada tahapan ketiga (tahapan positif/pengetahuan positif) dari pemikiran Comte. Tahapan positif merupakan tahapan tertinggi, ini berarti dua tahapan sebelumnya merupakan tahapan yang rendah dan primitif, oleh karena itu filsafat Positivisme merupakan filsafat yang anti metafisik, hanya fakta-fakta saja yang dapat diterima. Segala sesuatu yang bukan fakta atau gejala (fenomin) tidak mempunyai arti, oleh karena itu yang penting dan punya arti hanya satu yaitu mengetahui (fakta/gejala) agar siap bertindak (savoir pour prevoir).
Manusia harus menyelidiki dan mengkaji berbagai gejala yang terjadi beserta hubungan-hubungannya diantara gejala-gejala tersebut agar dapat meramalkan apa yang akan terjadi, Comte menyebut hubungan-hubungan tersebut dengan konsep-konsep dan hukum-hukum yang bersifat positif dalam arti berguna untuk diketahui karena benar-benar nyata bukan bersifat spekulasi seperti dalam metafisika.
Pengaruh positivisme yang sangat besar dalam zaman modern sampai sekarang ini, telah mengundang para pemikir untuk mempertanyakannya, kelahiran post modernisme yang narasi awalnya dikemukakan oleh Daniel Bell dalam bukunya The cultural contradiction of capitalism, yang salah satu pokok fikirannya adalah bahwa etika kapitalisme yang menekankan kerja keras, individualitas, dan prestasi telah berubah menjadi hedonis konsumeristis.

Eksistensialisme adalah aliran filsafat yg pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.

Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat Barat. Eksistensialisme mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat kebebasan. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme adalah melulu soal kebebasan. Apakah kebebasan itu? bagaimanakah manusia yang bebas itu? dan sesuai dengan doktrin utamanya yaitu kebebasan, eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan itu sendiri.

Suatu raksi dari idealisme berbeda dengan materealisme yang berasal dari pemikiran denmark yang bernama soren kierkegaard. Petama-tama kierkegaard mengutarakan kritiknya terhadap hegel. Ia berkenalan dengan filsafat hegel ketika belajar teologi di univirsitas kopenhagen, keberatan yang di ajukan olehnya pada hegel adalah meremehkan eksistensi yang kngkrit karna hegel mekedepankan idea yang sifatnya umum.menurutnya kierkegaard,manusia tidak hidup sebagai “aku umum “ tetapi sebagai “aku induvidual “. Dengan itu kiekegaard menawarkan istilah “eksistensi “ yang mempunyai arti peran penting pada abad ke-20.akan tetapi pengaruh kiekegaard masih belum tampak ketika ia masih hidup bahkan namanya bertahun-tahun belum terkenal, baru setelah akhir abad ke-19 karyanya mulai di terjemahkan kedalam bahasa jerman dan karyanya menjadi sumber yang sangat penting sekali dalam abad ke-20 yang di sebut dengan “eksistensialisme “sehingga dia mempunyai sebutan bapak filsafat eksistensialisme.dan dia merupakan orang yang menganut agama kristen.

KaraktKristik pemikiran abad post-moder

Postmodernisme, pada dasarnya merupakan pandangan yang tidak/kurang mempercayai narasi-narasi universal serta kesamaan dalam segala hal, faham ini lebih memberikan tempat pada narasi-narasi kecil dan lokal yang berarti lebih menekankan pada keberagaman dalam memaknai kehidupan. Meskipun pada abad ini pemikiran filsafat menitik beratkan pada analitik kebahasaan, seperti yang telah diungkapkan oleh Derrida. Konsep dekonstruksinya (Derrida sendiri menolak merumuskan dekonstruksi sebagai konsep, teori, atau semacamnya) telah mewarnai wacana pemikiran di berbagai bidang, dari sastra hingga tata busana, dari senirupa hingga arsitektur. Dekonstruksi selalu menyertai wacana pemikiran filsafat kontemporer seperti strukturalisme, pascastrukturalisme, pasacamodernisme, pascakolonialisme, teori kritis, dan kritik baru (new criticism).

Tokoh utama yang paling berpengaruh pada era kritik sastra post-strukturalis adalah seorang filsuf perancis Jacques Derrida. Selain itu, buah karya pemikiran psikoanalis Jacques Lacan dan ahli teori kebudayaan Michael Foucault juga berperan penting dalam kemunculan post strukturalisme tersebut.

Strukturalisme dibangun atas prinsip Saussure bahwa bahasa sebagai sebuah sistem tanda harus dilihat ke dalam tahapan tunggal sementara (single temporal plane). Aspek diakronis bahasa, yakni bagaimana bahasa berkembang dan berubah dari masa ke masa, dilihat sebagai bagian yang kurang penting. Dalam pemikiran post strukturalis, berpikir sementara menjadi hal yang utama.