Selasa, 09 Juni 2009

REVIEW PEMIKIRAN FILSAFAT ABAD YUNANI, ABAD PERTENGAHAN, ABAD MODERN DAN ABAD POST-MODERN

REVIEW PEMIKIRAN FILSAFAT ABAD YUNANI, ABAD PERTENGAHAN, ABAD MODERN DAN ABAD POST-MODERN

Oleh. Muhammad syaiful munir

A. Karakteristik pemikiran abad Yunani

Filsafat Yunani adalah sebuah filsafat rasional pertama yang pernah ada dalam sejarah kehidupan manusia. Pada abad ini mungkin kita kenal yang namanya Thales, inilah orang pertama yang mengajukan pertanyaan yang sangat mendasar tentang kosmos, What is the nature of the world stuff ? dan dia menjawab Water. Pertanyaan ini sangat mendasar sekali, karena pertanyaan dan jawabannya itu menggunakan akal, tidak menggunakan agama atau kepercayaan lainnya. Alasannya ialah karena air penting bagi kehidupan. Disinilah akal mulai digunakan dan lepas dari keyakinan atau kepercayaan. Pada tahap permulaan, yaitu pada Thales dan pemikir-pemikir lainnya akal mulai menonjol dominasinya meskipun iman juga masih memainkan perannya.

Dalam sejarah Yunani, dapat dikatakan bahwa filsafat pada abad ini adalah di dominasi oleh akal “rasio”. Hal ini terbukti pada zaman sofis. Pada zaman ini akal dapat dikatakan menang mutlak. Manusia adalah ukuran kebenaran dan semua kebenaran bersifat relatif, yang merupakan ciri filsafat sofisme. Jika semua kebenaran relatif, maka yang terjadi adalah kekacauan kebenaran. Akibat selanjutnya adalah teori sains diragukan, semua kepercayaan dan akidah keagamaan dicurigai sehingga manusia pada waktu itu hidup tanpa pegangan. Dan lebih parah lagi pada zaman ini ditambahi oleh pembela-pembela kebenaran, yaitu kaum sofis. Mereka mengajar, menjadi guru terutama bagi pemuda yang belajar filsafat, mereka menjadi filosof dan menjadi hakim.

Terlepas dari itu dapat kita pahami bahwa pemikiran pada abad ini, terutama pemikiran sofis yang menganggap bahwa kebenaran itu relatif. Pemikiran inilah yang menjadi penyebab kekacauan dan menggoyahkan keyakinan Agama. Dari sinilah muncul seorang tokoh yang hendak menyelamatkan pemikiran-pemikiran orang Yunani. Dialah Socrates, orang pertama yang ingin menyelamatkan pemikiran Yunani dari relativisme. Metode yang digunakan oleh Socrates hampir sama dengan orang-orang sofis. Dia berkata bahwa tidak semua kebenaran itu relatif, ada kebenaran yang sifatnya objektif atau kebenaran umum yang dapat diterima oleh semua orang. Akan tetapi pemikiran Scrates harus rela dibayar dengan nyawa yang ia milki, dengan dipaksa minum racun.

Masa Yunani Kuno. Pada tahap awal kelahirannya filsafat menampakkan diri sebagi suatu bentuk mitologi, serta dongeng-dongeng yang dipercayai oleh Bangsa Yunani, baru sesudah Thales (624-548 S.M) mengemukakan pertanyaan aneh pada waktu itu, filsafat berubah menjadi suatu bentuk pemikiran rasional (logos). Pertanyaan Thales yang menggambarkan rasa keingintahuan bukanlah pertanyaan biasa seperti apa rasa kopi ?, atau pada tahun keberapa tanaman kopi berbuah ?, pertanyaan Thales yang merupakan pertanyaan filsafat, karena mempunyai bobot yang dalam sesuatu yang ultimate (bermakna dalam) yang mempertanyakan tentang Apa sebenarnya bahan alam semesta ini (What is the nature of the world stuff ?), atas pertanyaan ini indra tidak bisa menjawabnya, sains juga terdiam, namun Filsuf berusaha menjawabnya. Thales menjawab Air (Water is the basic principle of the universe), dalam pandangan Thales air merupakan prinsip dasar alam semesta, karena air dapat berubah menjadi berbagai wujud
Kemudian silih berganti Filsuf memberikan jawaban terhadap bahan dasar (Arche) dari semesta raya ini dengan argumentasinya masing-masing. Anaximandros (610-540 S.M) mengatakan Arche is to Apeiron, Apeiron adalah sesuatu yang paling awal dan abadi, Pythagoras (580-500 S.M) menyatakan bahwa hakekat alam semesta adalah bilangan, Demokritos (460-370 S.M) berpendapat hakekat alam semesta adalah Atom, Anaximenes (585-528 S.M) menyatakan udara, dan Herakleitos (544-484 S.M) menjawab asal hakekat alam semesta adalah api, dia berpendapat bahwa di dunia ini tak ada yang tetap, semuanya mengalir . Variasi jawaban yang dikemukakan para filsuf menandai dinamika pemikiran yang mencoba mendobrak dominasi mitologi, mereka mulai secara intens memikirkan tentang Alam/Dunia, sehingga sering dijuluki sebagai Philosopher atau akhli tentang Filsafat Alam (Natural Philosopher), yang dalam perkembangan selanjutnya melahirkan Ilmu-ilmu kealaman.
Pada perkembangan selanjutnya, disamping pemikiran tentang Alam, para akhli fikir Yunani pun banyak yang berupaya memikirkan tentang hidup kita (manusia) di Dunia. Dari titik tolak ini lahir lah Filsafat moral (atau filsafat sosial) yang pada tahapan berikutnya mendorong lahirnya Ilmu-ilmu sosial. Diantara filsuf terkenal yang banyak mencurahkan perhatiannya pada kehidupan manusia adalah Socrates (470-399 S.M), dia sangat menentang ajaran kaum Sofis

A. Karakteristik pemikiran abad pertengahan

Jika pada abad Yunani rasio sangat mendominasi sebuah pemikiran, maka pada pertengahan ini rasio benar-benar telah kehilangan jati dirinya. Hal ini tergambar dalam pemikiran Plotinus, yang mengatakan filsafat rasional dan sains tidak penting mempelajariny merupakan usaha yang membuang waktu dan sia-sia saja. Oleh karena itu tujuan filsafat secara umum adalah bersatu dengan Tuhan. Plotinus juga berkata bahwa Tuhan bukan untuk dipahami melainan untuk dirasakan.dan di imani. Jadi dalam hidup, manusia akan dituntun oleh suara kitab suci, Injil.

Augustinus, potensi manusia yang diakui pada zaman Yunani diganti dengan kuasa Tuhan. Ia mengatkan bahwa kebenaran itu tidak relatif melainkan kebenaran itu mutlak yaitu kebenaran Agama. Pendapat Augustinus yang lain adalah bahwa bumi adalah pusat jagat raya, Heliosentrisme ditolaknya karena ia berpegang pada ajaran Injil. Intelektualitas pemikiran tidak penting, cinta kepada Tuhan lebih penting.

Jika mengikuti alur pemikiran Anselmus dapat dikatakan kalau filsafat abad pertengahan terletak pada rumusan terkenalnya yaitu credo ut intelligam (beriman dulu baru mengerti).

Abad Pertengahan. Semenjak meninggalnya Aristoteles, filsafat terus berkembang dan mendapat kedudukan yang tetap penting dalam kehidupan pemikiran manusia meskipun dengan corak dan titik tekan yang berbeda. Periode sejak meninggalnya Aristoteles (atau sesudah meninggalnya Alexander Agung (323 S.M) sampai menjelang lahirnya Agama Kristen oleh Droysen (Ahmad Tafsir. 1992) disebut periode Hellenistik (Hellenisme adalah istilah yang menunjukan kebudayaan gabungan antara budaya Yunani dan Asia Kecil, Siria, Mesopotamia, dan Mesir Kuno). Dalam masa ini Filsafat ditandai antara lain dengan perhatian pada hal yang lebih aplikatif, serta kurang memperhatikan Metafisika, dengan semangat yang Eklektik (mensintesiskan pendapat yang berlawanan) dan bercorak Mistik.
Filsafat abad pertengahan sering juga disebut filsafat scholastik, yakni filsafat yang mempunyai corak semata-mata bersifat keagamaan, dan mengabdi pada teologi. Pada masa ini memang terdapat upaya-upaya para filsuf untuk memadukan antara pemikiran Rasional (terutama pemikiran-pemikiran Aristoteles) dengan Wahyu Tuhan sehingga dapat dipandang sebagai upaya sintesa antara kepercayaan dan akal. Keadaan ini pun terjadi dikalangan umat Islam yang mencoba melihat ajaran Islam dengan sudut pandang Filsafat (rasional), hal ini dimungkinkan mengingat begitu kuatnya pengaruh pemikiran-pemikiran ahli filsafat Yunani/hellenisme dalam dunia pemikiran saat itu, sehingga keyakinan Agama perlu dicarikan landasan filosofisnya agar menjadi suatu keyakinan yang rasional.
Pemikiran-pemikiran yang mencoba melihat Agama dari perspektif filosofis terjadi baik di dunia Islam maupun Kristen, sehingga para ahli mengelompokan filsafat skolastik ke dalam filsafat skolastik Islam dan filsafat skolastik Kristen.
Di dunia Islam (Umat Islam) lahir filsuf-filsuf terkenal seperti Al Kindi (801-865 M), Al Farabi (870-950 M), Ibnu Sina (980-1037 M), Al Ghazali (1058-1111 M), dan Ibnu Rusyd (1126-1198), sementara itu di dunia Kristen lahir Filsuf-filsuf antara lain seperti Peter Abelardus (1079-1180), Albertus Magnus (1203-1280 M), dan Thomas Aquinas (1225-1274). Mereka ini disamping sebagai Filsuf juga orang-orang yang mendalami ajaran agamanya masing-masing, sehingga corak pemikirannya mengacu pada upaya mempertahankan keyakinan agama dengan jalan filosofis, meskipun dalam banyak hal terkadang ajaran Agama dijadikan Hakim untuk memfonis benar tidaknya suatu hasil pemikiran Filsafat (Pemikiran Rasional).

B. Karakteristik pemikiran abad modern

Berbicara abad modern tidak akan lepas dari tokoh fenomenal yang sangat terkenal yaitu, Rene Descartes. Karena dialah yang melepaskan kebebasan berfilsafat dari hegemoni Agama. Zaman ini juga sering disebut dengan zaman Renaissance. Seiring dengan terbukanya untuk berfikir, maka pada abad ini banyak bermunculan aliran, diantaranya Rasionalisme, Empirisisme, Idealisme dan pecahan-pecahan dari tiga aliran tersebut. Dari semua aliran tersebut dapat dipahami kalau semua pemikiran mengacu pada pemikiran Yunani.

Masa Modern. Pada masa ini pemikiran filosofis seperti dilahirkan kembali dimana sebelumnya dominasi gereja sangat dominan yang berakibat pada upaya mensinkronkan antara ajaran gereja dengan pemikiran filsafat. Kebangkitan kembali rasio mewarnai zaman modern dengan salah seorang pelopornya adalah Descartes, dia berjasa dalam merehabilitasi, mengotonomisasi kembali rasio yang sebelumnya hanya menjadi budak keimanan.
Diantara pemikiran Desacartes (1596-1650) yang penting adalah diktum kesangsian, dengan mengatakan Cogito ergo sum, yang biasa diartikan saya berfikir, maka saya ada. Dengan ungkapan ini posisi rasio/fikiran sebagai sumber pengetahuan menjadi semakin kuat, ajarannya punya pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan, segala sesuatu bisa disangsikan tapi subjek yang berfikir menguatkan kepada kepastian.
Dalam perkembangnnya argumen Descartes (rasionalisme) mendapat tantangan keras dari para filosof penganut Empirisme seperti David Hume (1711-1776), John Locke (1632-1704). Mereka berpendapat bahwa pengetahuan hanya didapatkan dari pengalaman lewat pengamatan empiris. Pertentangan tersebut terus berlanjut sampai muncul Immanuel Kant (1724-1804) yang berhasil membuat sintesis antara rasionalisme dengan empirisme, Kant juga dianggap sebagai tokoh sentral dalam zaman modern dengan pernyataannya yang terkenal sapere aude(berani berfikir sendiri), pernyataan ini jelas makin mendorong upaya-upaya berfikir manusia tanpa perlu takut terhadap kekangan dari Gereja.
Pandangan empirisme semakin kuat pengaruhnya dalam cabang ilmu pengetahuan setelah munculnya pandangan August Comte (1798-1857) tentang Positivisme. Salah satu buah pikirannya yang sangat penting dan berpengaruh adalah tentang tiga tahapan/tingkatan cara berpikir manusia dalam berhadapan dengan alam semesta yaitu : tingkatan Teologi, tingkatan Metafisik, dan tingkatan Positif
Tingkatan Teologi (Etat Theologique). Pada tingkatan ini manusia belum bisa memahami hal-hal yang berkaitan dengan sebab akibat. Segala kejadian dialam semesta merupakan akibat dari suatu perbuatan Tuhan dan manusia hanya bersifat pasrah, dan yang dapat dilakukan adalah memohon pada Tuhan agar dijauhkan dari berbagai bencana. Tahapan ini terdiri dari tiga tahapan lagi yang berevolusi yakni dari tahap animisme, tahap politeisme, sampai dengan tahap monoteisme.
Tingkatan Metafisik (Etat Metaphisique). Pada dasarnya tingkatan ini merupakan suatu variasi dari cara berfikir teologis, dimana Tuhan atau Dewa-dewa diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak misalnya dengan istilah kekuatan alam. Dalam tahapan ini manusia mulai menemukan keberanian dan merasa bahwa kekuatan yang menimbulkan bencana dapat dicegah dengan memberikan berbagai sajian-sajian sebagai penolak bala/bencana.
Tingkatan Positif (Etat Positive). Pada tahapan ini manusia sudah menemukan pengetahuan yang cukup untuk menguasai alam. Jika pada tahapan pertama manusia selalu dihinggapi rasa khawatir berhadapan dengan alam semesta, pada tahap kedua manusia mencoba mempengaruhi kekuatan yang mengatur alam semesta, maka pada tahapan positif manusia lebih percaya diri, dengan ditemukannya hukum-hukum alam, dengan bekal itu manusia mampu menundukan/mengatur (pernyataan ini mengindikasikan adanya pemisahan antara subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahui) alam serta memanfaatkannya untuk kepentingan manusia, tahapan ini merupakan tahapan dimana manusia dalam hidupnya lebih mengandalkan pada ilmu pengetahuan.
Dengan memperhatikan tahapan-tahapan seperti dikemukakan di atas nampak bahwa istilah positivisme mengacu pada tahapan ketiga (tahapan positif/pengetahuan positif) dari pemikiran Comte. Tahapan positif merupakan tahapan tertinggi, ini berarti dua tahapan sebelumnya merupakan tahapan yang rendah dan primitif, oleh karena itu filsafat Positivisme merupakan filsafat yang anti metafisik, hanya fakta-fakta saja yang dapat diterima. Segala sesuatu yang bukan fakta atau gejala (fenomin) tidak mempunyai arti, oleh karena itu yang penting dan punya arti hanya satu yaitu mengetahui (fakta/gejala) agar siap bertindak (savoir pour prevoir).
Manusia harus menyelidiki dan mengkaji berbagai gejala yang terjadi beserta hubungan-hubungannya diantara gejala-gejala tersebut agar dapat meramalkan apa yang akan terjadi, Comte menyebut hubungan-hubungan tersebut dengan konsep-konsep dan hukum-hukum yang bersifat positif dalam arti berguna untuk diketahui karena benar-benar nyata bukan bersifat spekulasi seperti dalam metafisika.
Pengaruh positivisme yang sangat besar dalam zaman modern sampai sekarang ini, telah mengundang para pemikir untuk mempertanyakannya, kelahiran post modernisme yang narasi awalnya dikemukakan oleh Daniel Bell dalam bukunya The cultural contradiction of capitalism, yang salah satu pokok fikirannya adalah bahwa etika kapitalisme yang menekankan kerja keras, individualitas, dan prestasi telah berubah menjadi hedonis konsumeristis.

Eksistensialisme adalah aliran filsafat yg pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.

Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat Barat. Eksistensialisme mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat kebebasan. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme adalah melulu soal kebebasan. Apakah kebebasan itu? bagaimanakah manusia yang bebas itu? dan sesuai dengan doktrin utamanya yaitu kebebasan, eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan itu sendiri.

Suatu raksi dari idealisme berbeda dengan materealisme yang berasal dari pemikiran denmark yang bernama soren kierkegaard. Petama-tama kierkegaard mengutarakan kritiknya terhadap hegel. Ia berkenalan dengan filsafat hegel ketika belajar teologi di univirsitas kopenhagen, keberatan yang di ajukan olehnya pada hegel adalah meremehkan eksistensi yang kngkrit karna hegel mekedepankan idea yang sifatnya umum.menurutnya kierkegaard,manusia tidak hidup sebagai “aku umum “ tetapi sebagai “aku induvidual “. Dengan itu kiekegaard menawarkan istilah “eksistensi “ yang mempunyai arti peran penting pada abad ke-20.akan tetapi pengaruh kiekegaard masih belum tampak ketika ia masih hidup bahkan namanya bertahun-tahun belum terkenal, baru setelah akhir abad ke-19 karyanya mulai di terjemahkan kedalam bahasa jerman dan karyanya menjadi sumber yang sangat penting sekali dalam abad ke-20 yang di sebut dengan “eksistensialisme “sehingga dia mempunyai sebutan bapak filsafat eksistensialisme.dan dia merupakan orang yang menganut agama kristen.

KaraktKristik pemikiran abad post-moder

Postmodernisme, pada dasarnya merupakan pandangan yang tidak/kurang mempercayai narasi-narasi universal serta kesamaan dalam segala hal, faham ini lebih memberikan tempat pada narasi-narasi kecil dan lokal yang berarti lebih menekankan pada keberagaman dalam memaknai kehidupan. Meskipun pada abad ini pemikiran filsafat menitik beratkan pada analitik kebahasaan, seperti yang telah diungkapkan oleh Derrida. Konsep dekonstruksinya (Derrida sendiri menolak merumuskan dekonstruksi sebagai konsep, teori, atau semacamnya) telah mewarnai wacana pemikiran di berbagai bidang, dari sastra hingga tata busana, dari senirupa hingga arsitektur. Dekonstruksi selalu menyertai wacana pemikiran filsafat kontemporer seperti strukturalisme, pascastrukturalisme, pasacamodernisme, pascakolonialisme, teori kritis, dan kritik baru (new criticism).

Tokoh utama yang paling berpengaruh pada era kritik sastra post-strukturalis adalah seorang filsuf perancis Jacques Derrida. Selain itu, buah karya pemikiran psikoanalis Jacques Lacan dan ahli teori kebudayaan Michael Foucault juga berperan penting dalam kemunculan post strukturalisme tersebut.

Strukturalisme dibangun atas prinsip Saussure bahwa bahasa sebagai sebuah sistem tanda harus dilihat ke dalam tahapan tunggal sementara (single temporal plane). Aspek diakronis bahasa, yakni bagaimana bahasa berkembang dan berubah dari masa ke masa, dilihat sebagai bagian yang kurang penting. Dalam pemikiran post strukturalis, berpikir sementara menjadi hal yang utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar