Selasa, 09 Juni 2009

Membangun Kesadaran Kritis Mahasiswa dalam Iklim Akademis

Membangun Kesadaran Kritis Mahasiswa dalam Iklim Akademis
Oleh. Muhammad syaiful munir

a). Tipologi Kesadaran Mahasiswa Dan Konstruksi Pemikiran Islam
Untuk mengkaji pertualangan mahasiswa kita harus membuka cakrawala pengetahuan agar lebih komprehensif, karena mahasiswa bukanlah fenomena yang sederhana dan mudah kita pahami hanya dengan sebelah mata. Di tubuh mahasiswa terdapat pelapisan yang cukup heterogen. Dimana dalam tubuh mahasiswa terdapat pelapisan dalam membangun kesadaran berbangsa, berpolitik, dan beragama.
Ada tiga tipe kesadaran mahasiswa menurut paulo freire yaitu mahasiswa Tenggelam, Muncul, Terbuka. Yang penjelasannya sebagai berikut:
Pertama, mahasiswa tertutup dengan kesadaran “tenggelam” mereka bergantung kepada masarakat sentral yang memanipulasi. Ia membiarkan kaum elit, meminjam istilah netzche “tuhan yang tampak” atau manusia superman dengan kehendak kuasanya memaksakan pola-pola budaya dan agama mereka mengeksploitasi massa. Tipe Mahasiswa seperti ini tidak pernah terangsang untuk berpartisipasi dalam kehidupan social politik, social keagamaan, sehingga melahirkan budaya bisu. kesadaran mahasiswa yang tenggelam melahirkan model pembacaan tekstual-formalistik. Model Pembacaan ini memusat kepada teks, menjadikan teks sebagai media representasi sang pengarang. Menjadikan sebuah kebenaran yang tidak bisa disentuh oleh realitas diluar teks, inilah yang dalam analisis wacana dinamakan “eksternalisasi teks” model ini melahirkan pemikiran keislaman yang bersifat introver-strukturalistik. Mahasiswa dengan kesadaran ini mengikuti arus pemikiran penguasa dalam menafsirkan teks keislaman, sehingga dengan sikap ketertutupannya terhadap dunia luar membuat mahasiswa itu sendiri terperangkap oleh “jaring-jaring kuasa” yang telah mereduksi pesan tuhan dengan kepentingan personal sipembuat teks. Model pembacaan ini menurut abide al jabiri adalah nalar bayani.
Kedua, mahasiswa retak kesadarannya mulai “muncul”, ia tidak lagi bisu, ia mulai berpikir dan menyadari ketergantungannya, namun mereka tidak bisa bersikap dan berbuat banyak sehingga masih tetap berada dibawah kendali “kuda-kuda kuasa”. Model kesadaran mahasiswa yang mulai muncul melahirkan model pembacaan tekstual pasif, dalam arti kata membaca sebuah teks keislaman dengan rasa curiga terhadap sipembuat teks. Mereka tahu bahwa dirinya sebenarnya dibelenggu oleh penafsir melalui pemikirannya yang tertuang dalam teks yang dibacanya. namun mereka tidak berani untuk melakukan pembacaan yang berbeda terhadap sebuah teks yang diragukan keotentikannya, karena mereka meyakini bahwa dirinya tidak punya kekuasaan, keberanian dan kekuatan untuk melampaui teks yang menjadi sasaran empuk untuk ditafsirkan. Sehingga mereka tetap berada dalam belenggu penafsir. Tipe mahasiswa ini tidak mampu berbuat apa-apa, mereka hanya memendam keinginan itu sebagai bentuk kerja imajinasi yang bersifat utopis dan pada akhirnya untuk menyalurkan keinginannya mereka menggunakan jalan lain untuk mencari islam dengan kekuatan intuisi. Kekuatan ini dalam istilah abied al jabiri dinamakan nalar irfani yang sering digunakan oleh orang sufi.
Ketiga, mahasiswa terbuka dengan kesadaran kritis, mereka selalu bersikap kreatif dengan selalu curiga terhadap karya orang lain khususnya “manusia superman”. Ia selalu menolak sesuatu yang memaksa dirinya dan menghilangkan kesadarannya. Kesadaran mahasiswa kritis melahirkan pembacaan kritis kontekstual yang memusat kepada pembaca dalam menasirkan teks keislaman. Tipe mahasiswa ini meyakin bahwa dalam sebuah teks, ada kekuatan ideology pengarang yang bersembunyi dibalik teks. Untuk menghilangkan jejak pengarang, mereka keluar dari lingkaran kuasa sipembuat teks dan menafsirkan teks sesuai dengan konteks dimana teks itu ditafsirkan. Model ini oleh abide al jabiri dinamakan nalar burhani yang emusat kepada pembaca dan memperhatikan realitas, karena teks merupakan cermin retak dari realitas atau istilah hanafi “realitas mendahului pemikiran”.
Ketiga tipe tersebut akan mempengaruhi model pemikiran mahasiswa dalam membaca teks keislaman yang berwarna warni.
b). Metode Berfikir Kritis
Berpikir kritis adalah upaya yang dilakukan dengan penuh kesadaran untuk mempertanyakan kembali apapun yang dalam kehidupan manusia telah dianggap mapan dan tak berubah. Bisa jadi berupa adat istiadat, etika, pemahaman agama, pengetahuan dll.
Karena itu berpikir kritis meniscayakan perlunya seperangkat metode atau pendekatan. Tanpa metode dan pendekatan berpikir kritis akan menjadi suatu aktifitas yang tanpa arah, dan tidak menghasilkan suatu pandangan atau pemahaman baru yang mencerahkan.dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemahaman orang terhadap sesuatu bergantung pada metode atau pendekatan apa yang ia gunakan. Sebutlah misalnya kasus pluralitas pemahaman agama. Mengapa dalam tradisi keilmuan islam banyak lahir tafsir al quran? Jawabnya adalah karena tidak ada satupun tafsir al quran yang dapat di klaim sebagai suatu pemahamn al quran yang final, maka tak heran, jika dalam khazanah keilmuan al quran banyak lahir tafsir-tafsir seperti tafsir fiqh,tafsir sufi,tafsir adabi ijtima’i dll.
Selanjutnya dalam bidang kajian fiqh, meskipun sumbernya sama-sama al quran dan al hadist, tapi ikhtilaf pemahaman tidak dapat dihindari,sehingga tidak mengejutkan jika dalam pemikiran hukum islam lahir beragam madzhab, yang mengakibatkan perbedaan paraktek-praktek ritual keagamaan.
Dalam bidang teologi, kita mengenal adanya teologi asy’ariyah dan teologi mu’tazilah. Adanya dua aliran teologi ini, tidak bisa dilepaskan dari perbedaan metode atau pendekatan yang digunakan dalam berteologi.
Contoh-contoh diatas menunjukkan bahwa dalam tradisi keilmuan islam berpikir kritis adalah sesuatu yang dijunjung tinggi, bukan sesuatu yang ditakuti. Tapi yang menjadi persoalan muncul sebuah anggap bahwa apa yang telah dihasilkan oleh ulama terdahulu sesuatu yang final karena itu harus di ikuti tanpa sikap kritis. Parahnya lagi ada anggapan bahwa kemampuan intelektualitas ulama’ terdahulu tidak dapat dilampaui oleh intelektual islam masa sekarang sehingga pemahaman ulang terhadap doktrin keagamaan adalah tidak boleh dilakukan untuk tidak mengatakan haram.
Di satu sisi, akibat perbedaan pemahaman itu, kerap kali lahir suatu klaim kebenaran, yang tidak jarang melahirkan anarkhi dan kekerasan. Suatu kelompok tertentu menklaim bahwa pemahaman keagamaannya saja yang paling benar, sedangkan pemahaman keagamaan lainnya salah. Karena itu yang berhak masuk surga adalah kelompoknya saja,sedangkan kelompok lainnya tidak.
Vis a vis dengan kenyataan diatas, apa yang harus anda lakukan sebagai mahasiswa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar