Kamis, 11 Juni 2009

MEMBACA NALAR USHUL FIQH SYAFI’I

1 Awalnya, Nabi melarang menulis apapun yang datang dari nabi, dengan alasan dikhawatirkan adanya pencampuradukan antara yang berasal dari nabi dan dari Tuhan.
2 Fazlur Rahman, Islam, Bandung: Pustaka Hidayah, cet. Ke. IV, 2000, hal. 93
3 Maksudnya para sahabat yang ahli di bidang al-Qur’an, karena tidak semua sahabat memaham al-Qur’an. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986, hal. 565
4 Menurut Ibnu Khaldun, ada dua bentuk ilmu manusia, yakni bentuk yang alami seperti filsafat yang mengandalkan olah pikir kedua ilmu tradisional yang mengandalkan sumber wahyu, seperti al-Qur’an berikut penggaliannya. Ibnu Khaldun, Op. Cit. hal.543
5 Kira-kira ilmu ushul fiqh lahir pada era abad ke dua H. Wahab Khalaf, Sejarah Teori Hukum Islam: Pengantar untuk Ushul Fiqh Madzhab Sunni, Jakarta: Rajawali Press, 2000, hal. 16
6 Dalam ilmu-ilmu keislaman klasik, ilmu biasanya dibagi menjadi dua bagian: ilmu dlalruri dan ilmu muktasab. Yang kedua ini biasanya ada pada manusia, walaupun kemungkinan manusia juga mempunyai ilmu dlaruri. Sementara itu, terkait dengan definisi ilmu biasanya di kalangan mereka berkisar pada pengertian: mengetahui sesuatu menurut apa adanya. Definisi ini mengindikasikan obyek yang diketahui sudah jelas, sehingga kepastian ilmunya diukur sejauh mana pengetahuannya relevan dengan obyeknya.. Berbeda dengan biasanya, ushul fiqh justru sulit diukur, lantaran yang terakhir ini berkaitan erat dengan teks-teks yang mengandung pengertian ganda dan bersifat praduga semata walaupun berasal dari sumber yang qot’i.
7 Berkaitan dengan pendiri ushul Fiqh para peneliti berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa ushul fiqh telah ada sebelum Syafi’, dan Syafi’i hanyalah satu ahli ushul fiqh yang populer di kalangan umat Islam. lihat misalnya, Musthafa Ibrahim al-Zalami, Dalalat Nushush wa Turuq Istim,bat al-Ahkam fi Dau’ Ushul al-Fiqhi al-Islami, Baghdad: Mathba’ah Asad, 1973. juga, Fart J. Ziadah, “Ushul Fiqh” dalam The Oxspord Encyclopedia of the modern Islamic Word, Rd. John L. Eaposeto (Oxpord: Oxpord Uinversity Press, 1955. George Makdisi, “The Juridical Theology of Sufi: Origins and significance of Ushul Fiqh”, Studia Islamica, 591984. Anwar A. Dadri, Islamic Yurisprudence in The Modern World, Lahore: Muhammad Asyraf, 1973. Sementara pendapat yang mengatakan bahwa Syafi’ilah pendiri ushul fiqh, lihat misalnya, Wahab Khalaf, ilmu Ushul Fiqh, Dar al-Ilmi, 1978, hal. 17. Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Kairo: Dar al-Fikr al-A’robi, 1987. Badran Abu al-Aynayn Badran, Ushul Fiqh al-Islami Alexandria: Muassasah Sabab al-Jami’ah, 1882. Muhammad Hasyim Kamali, Principli of Islamic Prudence: The Islamic Texs Society, Cambridge: 5 Grfee Street, 1991.
8 Pada awalnya, ulama’-ulama’ fiqh menggunakan dua pendekatan yang berbeda, yakni pendekatan yang mengandalkan rakyi, dengan tokohnya Imam Abu Hanifah dan pendekatan yang mengandalkan hadits, dengan tokohnya Imam Malik. Kemudian muncul kelompok lain yang tidak menyetujui penggunaan rakyi yaitu kaum Dhahiriyyah yang diwakli Daud al-Dhahiri. Ibnu Khaldun, Op. Cit. hal. 566
9 Ameer Ali, Api Islam, Jakarta: Bulan Bintang, cet. Ketiga, 1978, hal. 538
10 Nasr Hamid Abu Zaid, Syafi’i: Moderatisme, Eklektisisme, Arabisme, Yogyakarta: LkiS,1997. Lihat juga Wael B. Hallaq, Op. Cit. 31-44. Tetapi menurut Joseph Schacht perbedaan dikalangan para fuqaha lebih bersifat geografis bukan disebabkan oleh perbedaan prinsip atau metode, Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, Yogyakarta: ISLAMIKA, 2003, hal. 48
11 Nasr Hamid Abu Zaid, Op. Cit. 1997. dan lihat juga Wael B. Hallaq, Op. Cit. 31-44.
12 Judul kitab ini “al-Risalah” awalnya adalah “al-Kitab”. Menurut Jabiri, Syafi’i meminjam dari ahli Nahwu, Sibawaih, sebab Syafi’i lahir setelah Sibawaih. Jabiri, Turas wa al-Hadasah, hal. 156. Bahkan nama “al-Risalah” merupakan peralihan dari “al-Kitab” yang terjadi setelah Syafi’i merubah madzhabnya dari qaul Qodim ke Qaul Jadid. Wael B. Hallaq, Op. Cit. Hal. 31
13 Nasr Hamid Abu Zaid, al-Tafkir fi Zamani al-Takfir, Mesir: Sina Li al-Nasr, 1990, hal.184. Lihat Syafi’, Al-Risalah, Hal. 8
14 QS. “Tidak kami alpakan sesuatupun di dunia ini di dalam al-kitab”.
15 Wael B. Hallaq, Op. Cit. hal. 33. Di sinilah kemudian metode Syafi’i sebenarnya lahir dari teks “wahyu “ itu sendiri, Wael B. Hallaq, Ibid. Hal. 43
16 Wael B. Hallaq, Ibid. hal. 35.
17 Bahkan menurut Syafi’i, perbedaan pendapat dalam memahami al-Qur’an bakal terjadi jika seorang pemikir meninggalkan bahasa Arab dan bearalih pada logika Aristoteles. Muhammad Abed al-Jabiri, al-Turas wa al-Hadatsah: Dirasat wa Munaqasat, 1991, Markaz Tsaqafi al-Arobiy, hal. 149
21 Istilah Qiyas, Syafi’i pinjam dari istilah Qiyas dalam bahasa, Jabiri, Turas, Op. Cit. hal. 156. Tetapi qiyas disini menurut Hallaq hanya berkaitan dengan teks-teks yang memuat banyak penafsiran sementara terhadap teks-teks yang qat’i atau nash tidak boleh ada qiyas. Hallaq, Op. Cit. hal. 141
16 Fazlur Rahman, Op. Cit. hal. 91
17 Konsep ini kemudian disebut Turats. Ia yang senantiasa hidup dan bersemayam dalam kesadaran, dalam konteks pemikiran dan kebudayaan Islam-Arab hingga kini-yakni kebudayaan yang dilihat sebagai bagian yang esensial dari eksistensi dan kesatuan umat Islam maupun bangsa Arab. Dari sini, tradisi kemudian dilihat bukan sebagai sisa-sisa atau warisan kebudayaan peninggalan masa lampau, tapi sebagai “bagian dari penyempurnaan ”akan kesatuan dan ruang lingkup kultural tersebut, yang terdiri atas doktrin agama dan syari’at, bahasa dan sastra, akal dan mentalitas, kerinduan dan harapan-harapan”. Muhammad Abid al-Jâbiri, Postradisionalisme, Yogyakarta: LKiS, 2000, hal. 6.
18 Wael B. Hallaq, Op. Cit, hal. 31-43.
19 Menurut Nasr Hamid, dalam sejarah selanjutnya, khususnya pasca Syafi’i, teks primer al-Qur’an berubah menjadi teks sekunder, sebaliknya teks yang awalnya sekunder berbalik menjadi teks primer. Akal hanya berfungsi menganalogikan suatu peristiwa pada teks sekunder yang telah berubah menjadi teks primer. (Nasr Hamid Abu Zaid, al-Tafkir fi Zamani al-Takfir Mesir: Sina Li al-Nasr, 1990, hal. 135
20 Nasr Hamid Abu Zayd, Op. Cit. 1997, hal. 7-16
21 Menurut Nasr Hamid Abu Zayd, sesekali tidak ada benturan antara akal dengan teks. Benturan hanya terjadi antara akal dengan kekuasaan teks, yaitu ketika teks berubah menjadi kuasa mutlak dan otoritas yang menguasai praktek pemikiran keagamaan hingga kekuasaan akal menjadi kecil. Nasr Hamid Abu Zaid, ibid, 1997, hal. 118.
23 Nasr hamid Abu Zaid, Tektualitas Al-Qur’an:Kritik Terhadap Ulum Al-Qur’an, Yogyakarta: LKiS, 2001, hal. 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar