Selasa, 09 Juni 2009

HERMENEUTIKA al-Qur’an Ibnu Rusyd

HERMENEUTIKA al-Qur’an Ibnu Rusyd

Oleh. Muhammad syaiful munir

Abstraksi

بسم الله الرحمان الرحيم

في الفكر الإسلامي, ظهرت العديد من العلوم, مثل علم أصول الفقه, علم الفقه, علوم القرآن, التصوف, علم الكلام, علم الحديث, التفسير...إلخ. إلا أن الفلسفة لم تعد علم من بين هذه العلوم الإسلامية. وانطلاقا من هذه النظرة, طبعي أن لايتطرق قالديزر إلى التفسير الفلسفي للقرآن أو إلى طريقة تناول الفلاسفة للمضمون القرآني وإنما اقتصر عى التفسير العقلي فقط.

في الواقع لا يستدعي هذا الحال إلى الإستغراب لكون الأمة الإسلامية لاسيما المذهب السني منها, يعتقد بأنه يوجد علمان؛ الأول يتعلق بالجانب الديني و الثاني يتعلق بالجانب العقلي, هذا الأخير الذي عرف عندهم فيما بعد بالفلسفة و التي أعدت من العلوم التي لاصلة لها بالعلوم الدينية.

وبالتمعن في هذه الحقيقة, أعتقد أننا بحاجة إلى العودة إلى تفكير ابن رشد الذي حاول التوفيق مابين هذين العلمين اللذين يعتقد و منذ فترة الإمام الغزالي أنهما شيئان اثنان ولا علاقة لأحدهما بالآخر, أي أنهما علمان متعارضان. من ثم, ما هو رأي ابن رشد فيما يتعلق بالطريق التي يقرأ بها القرآن؟ و التي تعد الإهتمام الأساسي في الدراسات الإسلامية. هذا ما تريد الخوض فيه هذه الدراسة الآتية.

Kata kunci: Hermeneutika, Retorika, Dialektika dan Demonstrasi.


A. Pendahuluan

Seiring dengan munculnya gugatan para pemikir muslim kontemporer terhadap dikotomi ilmu, yaitu; ilmu agama dan ilmu rasional atau non agama, layak kiranya kita mengkaji metode baca al-Qur’an Ibnu Ruysd,1 yang mencoba memadukan dua disiplin keilmuan secara bersama-sama, ilmu agama dan ilmu rasional atau filsafat. Pernyataan ini mungkin diduga mengada-ada mengingat Ibnu Rusyd dikenal sebagai seorang filsuf bukan mufassir. Tetapi jika kita membaca kembali beberapa karya filsuf ini, seperti Fasl al-maqal, al-kasyfu an Manahij, Bidayah Mujtahid dan Tahafut tahafut, saya yakin kita akan menguji kembali keyakinan tersebut. Bahkan kritik Ibnu Rusyd terhadap para pemikir pada masanya terletak pada cara bacanya terhadap teks al-Qur’an. Karena itulah, dalam tulisan ini, saya akan menggali cara baca Ibnu Rusyd terhadap al-Qur’an yang bercorak filosofis. 2

B. Latar Kehidupan Ibnu Rusyd

Filsuf muslim yang namanya dikenal dunia pada abad 12 M adalah Ibn Rusyd, yang selama ini menjadi tamu di rumahnya sendiri dan menjadi tuan rumah di negara Barat.3 Para pemikir Barat menamai Ibnu Rusyd dengan Averroes, sebagaimana mereka memberi nama Ibnu Sina dengan Avicenna. Nama lengkap sang filsuf ini adalah Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Ahmad Ibn Rusyd.4 Sedang Nama Abu al- Walid, biasanya ia dikenal, adalah nama kun-yah, dan al-Hafidz adalah nama laqab-nya, karena itulah dia dikenal dengan Ibn Rusyd al-Hafid. 5

Ibnu Rusyd dilahirkan, sebagai salah seorang filsuf besar Arab, di Qordova, pada tahun 520 H. (1126 M) dalam sebuah keluarga terhormat yang dikenal sangat menaruh perhatian pada ilmu pengetahuan. Sebagaimana pendahulunya, kakeknya dan bapaknya yang menjadi hakim Qordova dan kerap bergelut dengan pemikiran, dia juga melanjutkan tradisi perhatian dan kesibukannya dengan dunia keilmuan.

Ibnu Rusyd mengajar ilmu perundang-undangan dan kedokteran di Qordova. Kemudian dia berkelana ke Marakisy pada tahun 548 H, (1135 M). Hal itu atas permintaan Ibnu Thufail- seorang tabib Khalifah Abu Ya’qub Yusuf pada waktu itu- yang mengajukannya pada sang Khalifah. Di samping itu, Ibnu Thufail juga mendorong Ibnu Rusyd untuk memberikan syarah dan komentar atas buku-buku Aristoteles dan dia memberitahukan pada Ibnu Rusyd, bahwa Amirul mukminin berkali-kali merasa sedih karena dia merasa kesulitan dalam memahami bahasa filsafat Yunani dan karena kejelekan terjemahan yang ada. Ibnu Thufail juga memberitahukan bahwa di antara kewajiban Ibnu Rusyd adalah menangani tugas-tugas ini.

Pada tahun 565 H (1169 M) Ibnu Rusyd menjadi hakim di Isybiliyah selama dua tahun, setelah itu dia menjadi hakim di Qordova. Walaupun disibukkan dengan tugas-tugasnya, pada masa-masa ini, dia sangat produktif dalam menuangkan gagasan-gagasannya. Dia tetap menjabat posisi hakim hingga tahun 578 H, (1182 M.) sampai akhirnya dia dipanggil sang Khalifah ke Marakisy untuk dijadikan sebagai dokter pribadi Khalifah setelah meninggalnya Ibnu Thufail. Hanya saja, dia tidak lama berada di Marakisy, karena ia segera kembali ke Qordova menjabat sebagai Hakim Agung.

Sebagaimana pendahulunya, pemerintahan Khalifah Ya’qub, yang menggantikan posisi Yusuf, tetap menghormati Ibnu Rusyd pada awal pemerintahannya, hingga tahun 1195 M. ketika terjadi pengusiran terhadap Ibnu Rusyd dan serangan terhadap filsafat dan para filsuf. Setelah pelepasan jabatannya dan proses pengadilan, Khalifah mengasingkannya ke Lusinah dekat Qordova, memerintahkan untuk membakar semua karya-karya Ibnu Ruysd, kecuali buku-buku yang bersifat solutif seperti kedokteran, matematika dan ilmu falak, kemudian disebar berita keseluruh penjuru kota tentang kemurtadan dan kekafirannya, walaupun pendapat dan riwayat pengusirannya para pakar kerapkali berbeda-beda.

Ini menunjukkan bahwa dalam menyebarkan pemikirannya, Ibnu Rusyd mempunyai musuh-musuh, terutama dari para tokoh agama yang berusaha mempertahankan keyakinannya terhadap syari’ah. Karena itu, Ibnu Rusyd tidak lama menikmati dekat dengan Khalifah, lebih-lebih setelah kembalinya ke kerajaannya, kira-kira pada 19 Shafar, tahun 595 H, 10 Kanun: 1198 M) Ibnu Ruysd meninggal dunia. Dia mewariskan pemikiran yang cukup revolusioner dalam berbagai bidang keilmuan.

C. Reformasi Pemikiran Agama dan Filsafat

Pada masa Ibnu Rusyd, di Andalusia ada tiga tradisi pemikiran Islam yang dominan,6 yakni: pertama, kalam dan filsafat beserta ilmu-ilmunya, kedua fiqh dan ushul fiqh, ketiga tasawwuf teoritik. Jika dilihat dari sisi epistemologisnya, corak pemikiran itu menunjukkan absennya corak pemikiran rasionalis-demonstratif, walaupun pada waktu itu, filsafat Ibnu Sina telah beredar merata. Tetapi, kritik al-Ghazali terhadap para filsuf sebagaimana tertuang dalam bukunya Tahafut Falasifah menggugah instink kritik Ibnu Rusyd untuk melakukan sanggahan dan kritik balik terhadap serangan al-Ghazali, yang kemudian melahirkan buku berjudul Tahafut tahafut.

Dalam kritiknya terhadap para filsuf, Al-Ghazali terutama menjadikan Ibnu Sina dan Al-Farobi7 sebagai referensi utama konsep filsafat yang berkembang pada masanya. Hal ini oleh Ibnu Rusyd, dianggap tidak tepat, dan di sinilah letak kesalahan pertama Al-Ghazali.8 Padahal karya Aristoteles telah beredar pada masanya, lebih-lebih pemahaman al-Farobi dan Ibnu Sina terhadap filsafat Aristoteles dan Plato menurut Ibnu Rusyd melenceng jauh dari sumber sasinya serta mencampur adukkan antara filsafat Aristoteles dengan filsafat Plato dan menisbatkan beberapa pendapat pada Aristoteles yang bukan pendapat Aristoteles.9 Kesalahan kedua adalah sikap mengeneralisir para filsuf.10 Hal ini terlihat jelas melalui judul bukunya “Tahafut Falasifah”. Kenapa misalnya tidak menyebut Tahafut Ibnu Sina atau Tahafut al-Farobi sebagai konsekuensi logis referensi utama Al-Ghazali pada kedua filsuf muslim tersebut.11

Karena itu, menurut Jabiri,12 missi pemikiran Ibnu Rusyd bertumpu pada empat hal; Pertama, menghilangkan reduksi terhadap pemikiran Aristoteles. Kedua, menyingkap penyimpangan yang dilakukan al-Farobi dan Ibnu Sina terhadap Aristoteles. Ketiga, menyanggah kritik Al-Ghazali terhadap filsuf yang hanya mendasarkan diri pada karya al-Farobi Ibnu Sina dan Keempat, melakukan konseptualisasi teoritik “literalisme” sebagai penolakan terhadap metode para ahli kalam, aliran dhahiriah dan sufi.

Dalam tulisan ini, saya akan memfokuskan diri pada point keempat, karena saya melihat bahwa perdebatan di kalangan pemikir klasik, utamanya antara al-Ghazali dan para filsuf terletak pada pandangan mereka tentang hubungan agama dan filsafat. Hal itu tentunya berimplikasi pada teori dan prakteks pembacaan terhadap al-Qur’an, sehingga metode pembacaan al-Qur’an juga pada akhirnya berpengaruh dalam melontarkan wacana hubungan agama dan filsafat.

Karena itulah, saya akan memfokuskan diri pada bagaimana Ibnu Rusyd membaca dan memahami al-Qur’an, dengan tujuan untuk menggali reformasi pemikiran keagamaan,13 yang selama ini telah menempatkan filsafat sebagai “musuh” agama, terutama sejak “dominasi” pemikiran sufistik Al-Ghazali.

D. Hubungan Agama dan Filsafat

Sejak dominasi pemikiran sufistik al-Ghazali tentang hubungan agama dan filsafat, pemikiran Islam klasik pada umumnya memisahkan agama dan filsafat. 14 Melihat gejala demikian, Ibnu Rusyd mencoba melakukan perlawanan dengan cara melakukan pendamaian antara filsafat dan agama,15 sebagaimana tertuang dalam bukunya Fasl al-Maqal, al-Kasyfu dan Tahafut Tahafut. Bagaimanapun juga upaya ini patut mendapat penghargaan, terlepas apakah upaya itu hanya sekedar menjastifikasi consern filsafatnya atau memang secara inhern keduanya tidak bertentangan satu sama lain.16

Untuk menguji sejauh mana kebenaran pendapat Ibnu Rusyd dan kenapa dia menyatakan demikian, perlu saya sajikan bagaimana pandangan Ibnu Rusyd tentang filsafat.

Dalam rangka menjawab persoalan hubungan agama dan filsafat tersebut, Ibnu Rusyd kemudian melakukan penelitian terhadap ayat-ayat al-Qur’an tentang bagaimana hukum mempelajari filsafat menurut al-Qur’an. Dalam penelitiannya, Ibnu Rusyd menemukan bukti ayat-ayat yang berbicara minimal dua hal, pertama sarana yang dianjurkan al-Qur’an untuk digunakan dalam mempelajari obyek tersebut, yakni akal. Kedua, tentang obyek yang diperintahkan al-Qur’an untuk dipelajari, yakni maujud.

Di antara ayat-ayat itu adalah: “maka berfikirlah wahai orang-orang yang berakal budi”.17 Kalimat ”berfikirlah kalian” menandakan keharusan penggunaan akal. Yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah akalnya.18 Jika manusia yang mempunyai akal tidak menggunakan akalnya, maka tidak ada bedanya dia dengan hewan. Karena itu, di samping anjuran wajib itu datang dari al-Qur’an, kewajiban penggunaan akal juga merupakan konsekuensi logis agar dia tidak sama dengan hewan. Dan ayat “apakah mereka tidak memperhatikan segala yang ada di langit dan bumi dan segala sesuatu yang telah diciptakan Allah”. Ayat ini berbicara tentang keharusan penggunaan akalnya diarahkan pada maujud. 19

Beranjak dari argumen filsafat dan al-Qur’an ini, di sini terlihat ada hubungan relasional antara filsafat dengan al-Qur’an (agama) dalam hal keharusan penggunaan akal dan obyek yang menjadi sasaran akal.

Namun demikian, juga perlu ditampilkan pengertian filsafat menurut Ibnu Rusyd, sebab menurut tuturan al-Ghazali, pada umumnya, filsafat yang berkembang pada masa itu berkisar pada empat corak filsafat, yaitu ilmu ukur, ilmu logika, metafisika dan fisika.20 Lalu filsafat yang ditawarkan Ibnu Rusyd masuk ke dalam kategori filsafat yang mana dari keempat yang dimunculkan al-Ghazali. Ibnu Rusyd, 21 mengatakan: “Jika aktifitas filsafat adalah mempelajari semua yang ada (maujud) dan merenunginya sehingga pada akhirnya pengetahuan itu menghantarkan seseorang mengetahui adanya pencipta- yakni dari segi bahwa semua maujud ini adalah ciptaa-Nya sehingga ia menjadi petunjuk adanya pencipta- maka semakin sempurna pengetahuan tentang yang ada (maujud) semakin sempurna pula pengetahuan tentang pencipta”

Menurut Ibnu Rusyd filsafat adalah mempelajari dan merenungi “maujud”. Dalam konteks ini, ada dua kata kunci yang mesti dibedakan yakni kata “maujud” dan “wujud”.22 Dua kata ini penting dibedakan, sebab keduanya menunjuk pada substansi makna yang berbeda. Kata “maujud” menunjuk pada sesuatu yang ada, sementara kata “wujud” menunjuk pada aspek ontologis (aksistensi).

Sedang, maujud ada dua bentuk,23 yaitu; maujud hakiki, maujud yang adanya tidak bergantung pada selain dirinya, dan maujud aksiden, suatu maujud yang adanya bergantung pada selain dirinya. Jika mengikuti kategori kedua ini, maka maujud yang dimaksud Ibnu Rusyd nampaknya adalah selain pencipta atau yang dalam terminologi kalam disebut alam, sebab pengetahuan tentang ciptaan, menurut Ibnu Rusyd, akan menghantarkan seseorang mengetahui penciptanya. Jika demikian, filsafat yang dimaksudkan Ibnu Rusyd adalah filsafat alam24 yang dengan filsafat ini seseorang yang mempelajarinya dapat menghantarkan dia pada pengetahuan tentang Tuhannya.

Dari sisi sarana atau alat untuk memahami maujud adalah akal. Filsafat adalah kerja akal, tetapi tidak semua kerja akal disebut filsafat. Kerja akal disebut berfilsafat jika dalam menggunakannya seseorang mengunakan metode berfikir yang memenuhi syarat-syarat logis pemikiran. Metode berfikir logis yang dimaksud dalam pandangan Ibnu Rusyd adalah silogisme demonstratif.25 Karena itu, Ibnu Rusyd menganjurkan agar sebelum meyakini dan menggunakan metode silogisme demonstratif, seseorang harus mempelajarinya dengan teliti sehingga tidak mencampuradukkan antara mana yang silogisme demonstratif dan mana yang silogisme dialektika.

Berdasarkan kerangka ini dapat dipahami bahwa seluruh wacana pemikiran Ibnu Rusyd dibangun di atas pandangan bahwa agama dan filsafat merupakan dua hal yang berdiri sendiri, tetapi saling menopang. 26 Keduanya tidak bertentangan dan tidak bisa dipertentangkan. Keduanya merupakan dua sahabat karib yang saling menopang. Keduanya sama-sama sarana kebenaran dan sesama sarana kebenaran tidak bakal bertentangan karena kebenaran itu satu. Karena itu, masing-masing disiplin ini mempunyai logika berfikirnya sendiri-sendiri yang bertumpu pada masing-masing prinsip dasar epistemologisnya. Kebenaran agama bersifat universal dan bersifat intuitif sedang kebenaran filsafat bersifat rasional.27 Prinsip dasar filsafat adalah rasionalitas dan prinsip dasar dalam agama adalah maqasyid syari’ah.28 Mengkritik salah satu disiplin dengan prinsip yang dimiliki disiplin epistemologis lain, tentu tidak relevan. Misalnya prinsip epistemologi agama dilihat dari prinsip epistemologi filsafat atau sebaliknya. 29Disinilah menurut Ibnu Rusyd kesalahan Al-Ghazali ketika dia mengkritik para filsuf sebagai pembangkang agama. 30

Jika agama tidak menolak filsafat bahkan menganjurkannya, lalu bagaimana pandangan filsafat sendiri terhadap agama?.

Pembahasan tentang hubungan agama dan filsafat, secara epistemologis sebenarnya merujuk pada hubungan wahyu dan akal. Dengan pendamaian agama dan filsafat, Ibnu Rusyd melihat bahwa hubungan akal dengan wahyu dalam membahas suatu masalah bersifat saling mengisi. Ibnu Rusyd malah menggunakan metode filsafat dalam membaca al-Qur’an sebagai sumber agama.

Sementara itu, hubungan akal dan wahyu melahirkan pembagian-pembagian yang saling menopang. Ada wilayah tertentu yang hanya dibahas oleh wahyu,31 ada pula wilayah yang sama-sama dibahas oleh akal dan wahyu, dan ada pula wilayah yang tidak dibahas oleh wahyu tetapi oleh akal.32 Terhadap yang pertama, akal harus bertumpu pada wahyu, seperti masalah shalat, terhadap yang kedua, keduanya adakalanya mengambil kesimpulan yang sama dan adakalanya tidak sama. Jika keduanya megambil kesimpulan yang sama, kiranya di sini tidak ada masalah. Tetapi, jika wahyu dan akal bertentangan, di situlah takwil boleh digunakan. Sedang terhadap yang ketiga, akal bebas melakukan pengembaraan guna mencari kebenaran tanpa terikat oleh wahyu. Dan yang menjadi fokus analisis dalam tulisan ini adalah pola kedua.

E. Hubungan Pemikiran dan Realitas

Pada dasarnya semua filsuf muslim klasik, termasuk Ibnu Rusyd membagi masyarakat pada dua kelompok, masyarakat awam dan masyarakat terpelajar (falasifah).33 Perbedaan antara kedua golongan ini dalam pandangan Ibnu Rusyd terletak bukan pada perbedaan obyek pengetahuan melainkan pada levelnya.34 Masyarakat awam adalah masyarakat yang dalam memandang sesuatu hanya mengandalkan kemampuan indrawinya, sehingga sesuatu dikatakan ada hanya jika dapat dihayal dan diindra.35 Jika dikatakan ada sesuatu yang tidak dapat dihayal dan diindra, niscaya mereka meyakini bahwa sesuatu itu tidak ada. Sedang kelebihan masyarakat terpelajar adalah memandang sesuatu dengan menggunakan akalnya. Pengetahuan akal tidak bergantung pada sesuatu yang berbentuk fisik saja tapi juga non- fisik. Karena itu, pengetahuan mereka terhadap sesuatu menembus di balik sesuatu yang tidak tanpak bagi pandangan masyarakat awam.

Dengan klasifikasi masyarakat yang demikian, Ibnu Rusyd kemudian membagi metode berfikir menjadi tiga bagian, yakni metode berfikir retorika 36 yang cocok buat masyarakat awam dan metode berfikir rasional 37 yang cocok buat kaum terpelajar. Di antara dua kelompok masyarakat ini munculnya kelompok ketiga, yakni para ahli yang menggunakan metode dialektika.

Penggunaan metode retorika bagi masyarakat awam sangat relevan mengingat mereka mempunyai kesiapan pemikiran yang relatif lemah dibanding yang lannya. Metode retorika tidak terlalu mengandalkan kemampuan rasio melainkan hanya mengandalkan kepuasaan dan masyarakat awam hanya butuh untuk memuaskan diri mereka. Contoh sederhana tentang masalah ini adalah ceramah agama seperti yang dilakukan A. A. Gym.

Metode dialektika berada di atas metode retorika tetapi tidak mencapai metode demonstratif. Karena itu, metode dialektika tidak dapat memuaskan kalangan masyarakat awam, sehingga menggunakan metode ini buat masyarakat awam menurut Ibnu Rusyd dapat membahayakan keyakinan mereka terhadap agama. Metode ini digunakan para ahli kalam dalam rangka mempertahankan keyakinan mereka tentang Tuhan dalam menghadapi serangan dari pihak luar, terutama dari pihak non-Islam dan filsafat Yunani.38

Metode demonstratif oleh Ibnu Rusyd dipandang sebagai metode aksiomatik yang dapat menghantarkan kalangan terpelajar untuk mengetahui kebenaran yang meyakinkan. Dikatakan demikian, karena metode ini berangkat dari prinsip berfikir rasional murni, yang berangkat dari realitas indrawi, alam menuju realitas non-indrawi Tuhan. Jadi, ia bersifat analitis, bukan apologis sebagaimana metode dialektika ahli kalam.

Oleh karena kemampuan kedua golongan masyarakat ini terletak pada pengetahuan indrawi dan rasio, konsekuensinya beban wacana agama bagi masing-masing kelompok masyarakat tersebut juga berbeda satu sama lain. Bagi kalangan awam yang mengandalkan kemampuan indrawinya, apa yang membuat mereka yakin adalah apa yang dapat ditangkap oleh indranya. Hal ini mengharuskan, dalam pandangan Ibnu Rusyd, mereka oleh al-Qur’an diberi beban untuk memahami maksud al-Qur’an cukup secara lahiriah dan normatif. Berbeda dengan kalangan awam, kalangan terpelajar, baik kalangan ahli kalam maupun kalangan filsuf, harus menembus sesuatu yang berada di luar indrawi, yakni yang menjadi wilayah garapan rasio, sehingga al-Qur’an bagi mereka harus dibawakan pada makna rasionalnya (batinnya), bukan makna lahiriahnya.

Berdasarkan alur logika ini, penggunaan sembarangan pemikiran, tanpa melihat siapa yang menjadi sasarannya dalam pandangan Ibnu Rusyd sebagai tindakan yang membahayakan. Mestinya masyarakat awam tidak diberi pemikiran rasional tentang agama karena apa yang membuat mereka yakin bukanlah kerasionalan pemikiran melainkan kepuasaan perasaannya belaka, sebaliknya menggunaan pemikiran lahiriah dan normatif bagi kalangan terpelajar juga sebuah bahaya karena dengan demikian berarti menghilangkan maksud sebenarnya dari al-Qur’an.

Dengan demikian, adalah benar jika Ibnu Rusyd, dipandang sebagai filsuf yang memandang adanya hubungan dialektis antara pemikiran dan realitas,39 mengingat dalam setiap wacana yang ditawarkannya, Ibnu Rusyd selalu mengaitkan pemikiran dengan subyek atau masyarakat yang dihadapinya. Dengan pola pandang yang demikian inilah, dapat dipahami kenapa Ibnu Rusyd kerapkali mengkritik para ahli, yang menggunakan satu bentuk pemahaman dengan bertumpu pada takwil terhadap al-Qur’an tanpa melihat subyek yang dihadapinya.

F. Memahami Bahasa al-Qur’an Bersama Ibnu Ruysd

Sebelum menganalisis bagaimana metode penafsiran Ibnu Rusyd, kiranya perlu diinformasikan sedikit bahwa di era kontemporer ini, metode penafsiran al-Qur’an mengalami perkembangan yang cukup pesat dan kritis. Kalau sejak dulu, “Risalah”, karya Al-Syafi’i dikenal sebagai metode penafsiran yang cukup otoritatif, kini metode ini mulai digugat oleh sebagian kecil pemikir muslim kritis yang diilhami terutama oleh filsafat bahasa yang lahir dari Prancis, seperti linguistik struktural, yang umum dikenal sebagai filsafat bahasa modern40 dengan penggagasnya Ferdenan de Saussure dan hermenutika sebagai metode membacanya, dengan penggagasnya Schlemacher dan Gadamer.

Apa yang digugat oleh filsafat bahasa modern adalah pemahaman tentang hakikat bahasa, terutama menyangkut hubungan bahasa dengan makna, benda dan subyek. Sedang dalam konteks hermeneutika yang menjadi persoalan utama adalah apakah sebuah pembacaan harus bersifat obyektif atau subyektif. Ada sementara pemikir yang menganggap bahwa pemahaman harus bersifat obyektif ada pula yang mengambil posisi sebaliknya, subyektif. Terlepas dari pertentangan itu,41 kita akan melihat bagaimana pemahaman Ibnu Rusyd terhadap dua hal di atas, yakni tentang hakikat bahasa, tentunya yang terkait dengan al-Qur’an dan metode pembacaannya.

1. Al-Qur’an Menurut Ibnu Rusyd

Dalam memahami wahyu, kalangan ahli kalam mendasarkan analisanya pada pengkaitan dzat dan sifat,43 demikian pula Ibnu Rusyd. Hal ini terjadi karena pada saat itu, Ibnu Rusyd dituntut untuk menyanggah berbagai argumen dialektis para ahli kalam. Tetapi tentunya pemahaman yang dia tawarkan tentang hubungan keduanya berbeda dengan para ahli kalam. 44

Menurut Ibnu Rusyd, kesalahan para ahli kalam Asy’ariah dan Muktazilah karena keduanya memisahkan antara lafazh dan makna dan kemudian masing-masing aliran tersebut mangambil salah satu dari dikotomi tersebut. Asy’ari memandang wahyu adalah sifat Tuhan, dan sifat Tuhan tidak dicipta. Ia qadim, karena itu, kalam Allah yang biasa disebut wahyu adalah qodim. Sebaliknya Muktazilah45 menganggap kalam Allah bukan sifat dzatiah-Nya, melainkan sifat perbuatan-Nya. Karena itu, sifat kalam mempunyai hubungan relasional dengan makhluk, sehingga ia bersifat baharu. Ia ada bersamaan dengan kapan Dia bertindak.

Sebagai solusi bagi keduanya, Ibnu Rusyd memandang bahwa seharusnya dua hal itu tidak perlu dipisahkan melainkan di satu padukan.46 Artinya, kalam nafsi Tuhan, yang menurut kalangan Asy’ariah tidak menggunakan lafazh disebut qadim, sedang kalam lafdzi yang menurut Muktazilah berbentuk lafazh dan dicipta disebut baharu.47 Kalam yang pertama berada di Lauh al-mahfuzh, yang tidak dapat disentuh kecuali oleh para hamba Allah yang suci, sementara kalam kedua, berada di alam nyata dan ia merupakan abstraksi kalam nafsi Tuhan agar ia kontekstual dengan realitas alam nyata. Oleh karena wahyu dari segi bahasa merupakan rumusan manusia, maka bahasa dengan mana wahyu dibahasakan tentunya tidak sakral walupun tetap dihormati. Ini berarti, Ibnu Rusyd telah melakukan desakralisasi teks wahyu.

2. Teori Bahasa al-Quran Ibnu Rusyd

Sementara itu, makna-makna yang ada pada al-Qur’an dalam pandangan Ibnu Rusyd ada lima kelompok. Kelima makna itu terbagi lagi menjadi dua kelompok: pertama, kelompok makna yang tidak terbagi-bagi lagi, yakni bahwa makna lahiriah al-Qur’an itu merupakan makna yang dimaksud secara riil oleh al-Qur’an. kedua, kelompok makna yang terbagi lagi menjadi empat kelompok, yakni bahwa makna lahiriah al-Qur’an itu bukanlah makna yang dimaksudkan, tetapi sebagai simbol bagi makna batin.

Bagian pertama dari empat kelompok makna kedua adalah bahwa makna lahiriah yang dijelaskan melalui simbol itu, keberadaannya hanya bisa diketahui melalui analogi yang mendalam, yang dipelajari dalam waktu panjang dan melalui ilmu-ilmu yang kokoh. Tetapi ia diketahui sebagai simbol melalui contoh yang mendalam sebagaimana kami sifatkan ini. Kelompok makna ini hanya bisa ditakwil oleh para kaum terpelajar.

Kedua, makna lahiriah itu diketahui sebagai simbol dan kenapa ia merupakan simbol. Makna ini harus ditakwil dan hasil penakwilannya harus dibeberkan pada masyarakat umum. Terhadap makna ini tak seorangpun yang boleh mengambil mkna lahiriahnya.

Ketiga, makna lahiriah itu diketahui melalui pengetahuan yang sederhana bahwa ia hanyalah simbol bagi sesuatu dan diketahui kenapa ia menjadi simbol melalui pengetahuan yang mendalam. Terhadap kelompok makna ini, seorang terpelajar wajib menakwilnya tetapi tidak boleh dibeberkan pada masyarakat awam.

Keempat, kebalikan dari yang ketiga, yakni bahwa makna lahiriah itu diketahui melalui pengetahuan yang sederhana bahwa ia merupakan simbol, tetapi kenapa ia menjadi simbol hanya bisa diketahui melalui pengetahuan yang mendalam. Karena itu, kelompok makna ini lebih baik hanya dikhususkan bagi kaum terpelajar.

G. Relevansi Teori Ibnu Rusyd dengan Teori Kontemporer

Merujuk pada penjelasan Ibnu Rusyd di atas, kita bisa mengaitkan bagaimana posisi pemikiran Ibnu Rusyd tentang bahasa berikut pembacaannya dengan linguistik modern dan hermeneutika, yang melakukan gugatan terhadap teori bahasa konvensional dan teori pembacaan teks konvensional.

1. Teori Bahasa

Persoalan utama yang diungkapkan Ibnu Rusyd dalam hal ini adalah mana ayat yang boleh dan tidak boleh ditakwil dan siapa yang boleh dan tidak boleh menakwil. Dengan dua persoalan itu, Ibnu kemudian membuat kaidah-kaidah takwil, sebagaimana paparan di atas. Kaidah-kaidah inilah yang populer dalam teori penafsiran Ibnu Rusyd.

Agar mudah diketahui apakah teori yang ditawarkan Ibnu Rusyd relevan dengan kreasi kontemporer atau tidak, perlu kiranya saya membahasakan maksud teori Ibnu Rusyd tersebut dengan bahasa kontemporer. Hal ini memungkinkan, karena menurut saya, perbedaan teori Ibnu Rusyd dengan teori kontemporer hanya pada aspek istilah, sementara isinya sama, yatu menyangkut teori bahasa dan penafsiran atau hermeneutika.

a. Hubungan Lafazh dengan Makna

Sebagaimana paparan di atas, bahasa al-Qur’an menurut Ibnu Rusyd mengandung lima makna. Kelima makna itu terbagi lagi menjadi dua kelompok: pertama, kelompok makna yang tidak terbagi-bagi lagi, kedua, kelompok makna yang terbagi lagi menjadi empat kelompok. Jika boleh membuat rumusan, hal itu bisa digambarkan sebagai berikit:

1. Alami

Kelompok pertama dari lima kelompok makna itu adalah yang tidak terbagi-bagi lagi. Yang dimaksud “tidak terbagi-bagi lagi” di sini adalah suatu lafazh dalam sebuah ayat yang hanya mengandung makna lahir. Dalam konteks ini, hubungan bahasa dengan makna bersifat alami, tidak ditentukan oleh faktor eksternal apapun termasuk realitas atau subyek. Lafazh itu tidak boleh dicari atau dipalingkan pada makna lain baik yang bersifat metafor atau lainnya yang termuat dari kemungkinan pemalingan makna hakiki lafazh ke makna majazi. Jika hal itu dilakukan, justru akan memalingkan maksud yang sebenarnya dari ayat tersebut, sebab yang dimaksukan ayat al-Qur’an itu adalah apa yang tersurat, bukan yang tersirat.

2. Arbitrer

Kelompok kedua dari lima kelompok makna di atas adalah makna yang terbagi-bagi lagi. Yang dimaksud “terbagi-bagi lagi” adalah bahwa lafazh dari sebuah ayat itu mengandung makna lahir dan batin. Tetapi, pemaknaannya masih bersifat analitik. Ayat yang seperti ini tidak hanya mempunyai satu makna seperti yang pertama, melainkan mempunyai dua makna, yakni makna lahir dan makna batin. Bisa saja, makna lafazh lahiriah itu bukan maksud yang sebenarnya dari ayat, melainkan hanya sebagai simbol, sehingga makna ayat tersebut harus dibawakan pada makna lain di luar makna lahiriah, yakni makna metafor atau makna batin.

Dari dua hal ini, dapat dipahami bahwa di samping ada bahasa yang antara lafazh dan maknanya mempunyai hubungan alamiah, juga ada bahasa yang bersifat arbitrer.48 Dalam konteks kedua ini, hubungan keduanya ditentukan oleh faktor luar, yakni subyek atau realitas. Karena itu, hubungan lahir dan batin ayat ini “tidak inhern” dalam ayat tersebut, melainkan sebagai akibat dari beragamnya kemampuan masyarakat yang menjadi sasaran al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan sebelumnya yakni masyarakat awam dan masyarakat terpelajar. 49

b. Hubungan Lafazh dengan Referen

Konsekuensi logis pemahaman tentang hubungan lafazh dengan makna tersebut, membuat hubungan bahasa dengan obyek juga ada dua, bersifat alamiah dan arbitrer.

1. Alami

Antara keduanya berhubungan secara alami. Hubungan ini menandakan bahwa antara benda atau referens yang ditunjuk oleh suatu lafazh merupakan obyek yang sejati dan berhubungan secara alamiah dengan lafazh yang menunjuknya. Jika referens itu diganti dengan referens lain, membuat hubungan keduanya tidak relasional dan tidak bisa dipahami. Misalnya lafazh “Allah”. Jika lafazh itu ditakwil atau dipalingkan pada makna lain, tentu apa yang dimaksud menjadi tidak relevan. Demikian juga jika referensi dari lafazh itu diganti misalnya “batu”.

Dengan kata lain, terhadap lafazh yang mempunyai hubungan alamiah dengan referensnya tidak perlu lagi mencari referens selain yang memang ditunjuk oleh lafazh bahasa itu sendiri. Dalam konteks ini, biasanya, sebagaimana tuturan Ibnu Rusyd, terkait dengan hal-hal yang prinsipil dalam agama, seperti tentang Tuhan, kenabian dan hari akhir. 50 Tetapi, pola ini berkaitan erat dengan bagian pertama dari bagian lima makna di atas.

2. Arbitrer

Di samping itu, hubungan keduanya juga arbitrer. Sebagaimana yang pertama, hal ini juga terkait dengan bagian kedua dari lima makna di atas. Berbeda dengan pertama, konteks hubungan arbitrer antara lafazh dengan referesnya, menandakan bahwa boleh saja referensnya diganti atau maknanya dipalingkan dari makna yang tersurat (lahiriah) kepada makna yang tersirat (batiniah). Misalnya, lafazh “batu” dengan benda “batu” itu sendiri. Bisa saja, “batu” diganti dengan “badan yang kekar” dan bisa pula makna dari batu diganti dengan makna “keras kepala”.

Dengan kategorisasi di atas, Ibnu Rusyd menolak klaim bahwa semua ayat-ayat al-Qur’an boleh ditakwil sebagaimana dilakukan kalangan ahli kalam dan juga menolak klaim bahwa ayat al-Qur’an hanya dibawakan pada makna lahiriahnya semata sebagaimana kalangan Dhahiriah. Karena itu, Ibnu Rusyd melakukan penafsiran hanya mengacu pada ayat-ayat yang secara linguistik memuat sesuatu yang arbitrer, baik dalam konteks hubungan antara bahasa dengan makna atau bahasa dengan obyek. Dengan demikian, ayat al-Qur’an yang boleh ditakwil adalah ayat-ayat yang masuk ke dalam kelompok kedua dari ke lima kelompok makna al-Qur’an.

2. Teori Hermeneutika: Subyek Sebagai Titik Pembacaan

Para penganut aliran pos-strukturalis, yang hendak menawarkan kembalinya manusia secara individual, setelah dibunuh oleh strukturalisme, memandang bahwa manusia harus menjadi pusat penafsiran. Pola penafsiran yang kini terkenal dan menempatkan manusia sebagai pusat adalah hermeneutika filosofis, kreasi Gadamer.51

Jika demikian, apa yang dilakukan Ibnu Rusyd nampaknya tidak jauh beda dengan kreasi para pemikir tersebut. Jauh-jauh sebelumnya, Ibnu Rusyd telah membuktikan bahwa diri subyek ditempatkan sebagai pusat dalam menafsiri al-Qur’an. Hal itu bermula dari pemahaman Ibnu Rusyd bahwa pembagian lahiriah dan batiniyah dan pertentangan aspek lahiriah al-Qur’an bertujuan agar orang-orang yang mendalam ilmunya menggali maksud yang sebenarnya dari nash itu.52 Demikian pula siapa yang berhak melakukan penakwilan dan metode apa yang dilakukan, terkait erat dengan tingkatan masyarakat tersebut. Menurutnya, ada tiga golongan manusia yang terkait dengan penakwilan ayat-ayat al-Qur’an:53

Yang termasuk ahli takwil dan yang berhak menerima wacana takwil adalah golongan masyarakat terpelajar yang membidangi metode demonstratif, yaitu Filsuf dan para ahli kalam. Jadi, penakwilan itu tidak bersifat mutlak oleh semua orang dan untuk semua orang, melainkan melihat subyek yang hendak menafsiri atau sasaran yang hendak menerima takwilan tersebut.

Bagi kalangan ahli demonstratif ayat yang mengandung makna lahir dan batin harus dibawakan pada makna batinnya dan jika ayat itu dibawakan pada makna lahiriahnya justru membuat mereka salah. Sebaliknya melakukan penakwilan terhadap ayat itu bagi selain ahli demonstratif membuat mereka salah, misalnya bagi kalangan masyarakat awam. Memang ada ayat yang harus dibawakan pada makna takwilnya dan hal itu harus dibeberkan pada masyarakat awam, tetapi mereka tidak boleh melakukan penakwilan sendiri. Mereka hanya boleh menerima hasil takwilan para ahlinya.

Berdasarkan paparan singkat ini dapat diketahui bahwa apa yang ditawarkan Ibnu Rusyd tidak jauh beda dengan apa yang ditawarkan para pemikar modern yang banyak mengadopsi dari para filsuf Prancis khususnya, baik menyangkut analisis bahasa maupun hermeneutika.

G. Penutup

Dari paparan singkat di atas dapat disimpulkan bahwa teori penafsiran atau cara baca Ibnu Rusyd terhadap al-Quran sebenarnya cukup modern pada masanya bahkan hingga sekarang ini. Alasannya, karena dalam memahamai bahasa al-Quran, yang waktu itu dikenal sangat sakral, terutama sejak dominasi pemikiran kalam Asyariah, Ibnu Rusyd telah menggunakan apa yang kini disebut dengan filsafat bahasa, baik yang bercorak strukturalis maupun post-strukturalis dan hermeneutika.

Merujuk pada kenyataan ini, kiranya tidak salah jika wacana pemikiran Ibnu Rusyd terutama metode penafsirannya terhadap al-Qur’an disebut sebagai tafsir falsafi, karena cara bacanya menggunakan hermeneutika filosofis.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Maqsud, Abdul Ghani, Abd. Maqsud, Agama dan filsafat: kajian terhadap pemikiran ffilosof Andalusi Ibnu Masarrah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd, terj. Saifullah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Abu Zaid, Nasr Hamid, Menalar Firman Tuhan, Bandung: Miza, 2003.

al-Aqqad, Abbas Mahmud, Ibn Rushd, Mesir:Dar al-Ma’arif,t.t.

al-Baghdadi, Syekh Khalid al-baghdadi, al-Iman wa al-Islam, Istambul, Turki: Hakikat Kitabekvi, 2000,

al-Baidawi, Imam, Hasyiyah tafsir, al-Baidlawi, Istambul, Turki: Hakikat Kitabekvi.

al-Ehwani, A.F., “Ibn Rushd”, dalam M.M. Syarif (ed), A History of Muslim Philosophy, vol. I Wisbaden: Otto Harrassowitz, 1963.

Ghaldziher, Ignaz, Madhahib al-Tafsir al-Islami, Dar Iqra’, Libanun: Beirut, 1983.

al-Ghazali, Imam, Maqosyid Falsifah, Muqoddimah ala Tahafut Falasifah, (Pentahkik Sulaiman Dun-ya), Mesir: Dar Al-Ma’arif, cet. Ke-II, 1960.

______, Kerancuan filsafat, Terj., Achmad Maimun, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003.

______, Mustasyfa fi Ushul al-Fiq, Kairo: Maktabah al-Qohirah, 1392. H.,

______, Al-Munqidz Min Al-Dlalal, dalam Meretas Jalan Kebenaran: di belantara pertentangan pemikiran dan madzhab, Surabaya: Pustaka Progresif, , 2003

Harb, Ali, Hermeneutika Kebenaran, terj. Sunarwoto Dema, Yogyakarta: LkiS, 2003.

al-Iraqi, Muhammad Atif, Metode Kritik Filsafat Ibnu Rusyd, terj. Aksin Wijaya, Yogykarta: IRCISOD, 2003.

Jabbar, Qadli Abdul, Ushul al-Khamsah,Ciro: Wahba Library, T.t.

al-Jabiri, Muhammad abed, Al-Turas wa al-Hadatsah: Dirasat wa Munaqasat, Beirut: Al-Markz Al-Rasqfi al-Arobi, 1991.

______, Takwin al-Aql al-Arobi , markaz al-Saqofi al-robi, 1991.

______, Naqdu Ilm Al-Kalam Ibnu Rusyd, Al-Kasfu An Manahij Al- Adillah Fi Aqa’id Al-Millah, Libanun: Beirut, Markaz Dirasah Al-Wahdah al-arobiyyah, 1998

______, Postradisionalisme, terj., Ahmad Baso, Yogyakarta: LKiS, 2001.

______, Mihnah Ahmad bin Hambal, Libanun: Markaz Dirasah al-wahdah al-arabiyyah, Beirut

______, Kritik kontemporer atas filsafat Arab, ter. Nur Ichwan, Yogyakarta: Islamika, 2003.

______, Nalar filsafat dan Nalar Kalam, terj. Aksin Wijaya, Yogyakarta: IRCISOD, 2003.

King, Richard, Agama, Orientalisme dan Poskolonialisme, Yogyakarta: Qalam, 2001.

al-Ma’i, Zahirin Iwad, Manhaj al-Jidal fi al-Qur’an, cet ke II: 1400 H.

Musa, Muhammad Yusuf, 1968, Baina al-din wa al-falsafah, Fi rakyi Ibnu Rusyd wa falasifah al-ashri al-wasit, Mesir: Dar al-marif, cet. Ke:II

Qosim, Mahmud, Falsafah Ibnu Rusyd wa Atsaruha fi al-tafkir al-gharbi, Jami’ah Durman al-Islamiah, 1967

Rahman, Fazlur, Kontroversi Kenabian dalam Islam, antara filsafat dan ortodoksi, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Mizan, 2003.

Rusyd, Ibnu, Falsafah Ibnu Rusyd: Fasl al-maqal wa al-Kasyfu, Kairo: Maktabah Al-Mahmudah al-Tijariah, 1968.

______, Talkhis Khitobah, Libanun-Beirut: Dar al-Qalam, pentahkik, Abdurrahman Badawi, tt.

______, Tahafut al-Tahafut, Mesir, 1901.

Saussure, Ferdenand De, Pengantar Linguistik Umum, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1993 Suūdhan



1 Menurut Jabiri, pemikiran Islam masa depan berada di tangan Ibnu Rusyd. Muhammad Abed al-Jabiri, Kritik kontemporer atas filsafat Arab, ter. Nur Ichwan, Yogyakarta: Islamika, 2003, hal. 171.

2 Ignaz Ghaldziher tidak mencantumkan secara ekplisit tafsir falsafi atau cara baca filosofis terhadap al-Qur’an dan paling banter hanya menyebut tafsir teologi Rasional. Ghaldziher, Madhahib al-Tafsir al-Islami, Dar Iqra’, Libanun: Beirut, 1983.

3 DR. Mahmud Qosim, Falsafah Ibnu Rusyd wa Atsaruha fi al-tafkir al-gharbi, Jami’ah Durman al-Islamiah, 1967

4 A.F. Al-Ehwani, “Ibn Rushd”, dalam M.M. Syarif (ed), A History of Muslim Philosophy, vol. I (Wisbaden: Otto Harrassowitz, 1963), 540.

5 Abbas Mahmud al-Aqqad, Ibn Rushd (Misir:Dar al-Ma’arif,t.t),18.

6 Muhammad abed Al-Jabiri, Al-Turas wa al-Hadatsah: Dirasat wa Munaqasat, Beirut: Al-Markz Al-Rasqfi al-Arobi, 1991, hal. 203

7 Al-Gazali, Kerancuan filsafat, Terj., Achmad Maimun, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003, hal. Ixiii.

8 Muhammad Atif al-Al-Iraqi, Metode Kritik Filsafat Ibnu Rusyd, terj. Aksin Wijaya, Yogykarta: IRCISOD, 2003 hal: 194

9 Tentang rincian kritik Ibnu Rusyd terhadap al-Ghazali dan Ibnu Sina, lihat Muhammad Abed al-Jabiri, al-Turas wa Al-Hadatsah hal. 203. lihat juga, Muhammad Abed al-Jabiri, Takwin al-Aql al-Arobi , markaz al-Saqofi al-robi, 1991, hal. 318-320 dan Muhammad Atif Al-Iraqi, Op. Cit, 195

10 Bahwa analisis al-Ghazali mengeneralisir para filsuf, lihat Sulaiman Dun-ya, dalam pengantarnya terhadap karya al-Ghazali, Maqosyid Falasifah, muqoddimah ala Tahafut Falasifah. Mesir: Dar Al-Ma’arif, cet. Ke-II, 1960, hal. 9-24

11 Muhammad Atif Al-Iraqi, Op. Cit. hal. 35.

12 Muhmmad Abed al-Jabiri, Al-Turats, Op. Cit. hal. 196, dan 203 dan juga , Takwin, Op. Cit. hal. 318

13 Muhammad Abed al-Jabiri, Nalar filsafat dan Nalar Kalam, terj. Aksin Wijaya, Yogyakarta: IRCISOD, 2003, hal..124 dan juga Jabiri, Postradisionalisme, terj., Ahmad Baso, Yogyakarta: LKiS, 2001, hal 152

14 Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua bagian, ilmu agama dan ilmu rasional. Ilmu Rasional dikenal dengan filsafat. Akibatnya, kedua disiplin ini saling bertarung memperebutkan kekuasaanya di pentas pemikiran Islam khususnya. Oleh karena al-Ghazali menawarkan pola pemikiran yang sisitimatis dan produktif, kemudian menyebar dan diterima umat Islam, wacana yang dominan dalam pemikiran umat Islam adalah menempatkan agama sebagai ajaran yang memandulkan gerak lingkup filsafat, walaupun hal itu masih bisa diperdebatkan.Al-Gazali, Mustasyfa fi Ushul al-Fiq, Kairo: Maktabah al-Qohirah, 1392.

15 Pemikir yang berupaya mendamaikan filsafat dan agama pada masa klasik sebenarnya bukan saja Ibnu Rusyd, tapi pada umumnya para filsuf muslim abad pertengahan. Muhammad Yusuf Musa, Baina al-din wa al-falsafah, Fi rakyi Ibnu Rusyd wa falasifah al-ashri al-wasit, Mesir: Dar al-marif, cet. Ke:II, 1968, hal.74-85

16 Abd. Maqsud Abdul Ghani Abdul Maqsud, Agama dan filsafat: kajian terhadap pemikiran ffilosof Andalusi Ibnu Masarrah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd, terj. Saifullah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hal. 65

17 Yusuf Musa menafsiri lain terhadap ayat ini. Lihat Yusuf Musa, Op. Cit. hal. 91

18 (Al-Hasr:2). al-Farobi membagi akal manusia menjadi tiga tingkatan: akal potensial, akal aktual dan akal mustafad. Lihat, Fazlurrahman, Kontroversi Kenabian dalam Islam, antara filsafat dan ortodoksi, terj.Ahsin Muhammad, 2003, Bandung: Mizan, hal.35

19 Al-A’raf:185. Di sinilah pada akhirnya Ibnu Rusyd juga mengakui keterbatasan akal, terutama dalam mengetahui Allah. Karena itu, dia menggunakan prinsip bahwa mempelajari alam akan menghantarkan seorang pengkaji pada pengetahuan tentang pencipta.

20 Al-Ghazali, Maqosyid Falasifah, Op. Cit.

21 Ibnu Rusd, falsafah Ibnu Rusyd: Fasl al-Maqal wa al-Kasyfu, Kairo: Maktabah Al-Mahmudah al-Tijariah, 1968, hal. 13,

22 Yusuf Mukarram, al-aql wa al-wujud, hal. 113 .

23 Maujud (ada) menurut Al-Ghazali ada lima macam: esensial, indrawi, khayali, rasional dan metaforik. Al-Ghazali, Fasl Tafriqah, (dalam Hazanah Intelektual Islam, Nurkhalis) hal, 164, dan Ibnu Rusyd, Falsafah Ibnu Rusyd, Op. Cit. Lihat juga, al-Ghazali dalam Meretas Jalan Kebenaran Di Belantara Pertentangan Pemikiran Dan Mazhab, Surabaya: Pustaka Progressif, 2003, hal. 157

24 Berbagai pandangan filsafat yang muncul pada masa Al-Ghazali, tentunya juga pada masa Ibnu Rusyd, lihat Al-Ghazali, Al-Munqidz Min Al-Dlalal, dan Maqasyid Falasifah, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1960, pentahkik, DR. Sulaiman Dun-ya.

25 Qiyas rasional yang dikenal dengan metode dialektika yang digunakan para ahli kalam oleh Ibnu Rusyd tidak disebut sebagai metode berfikir filsafat.

26 Muhammad Abed al-Jabiri, Takwin Op. Cit. hal. 318.

27 Ali Harb, Hermeneutika Kebenaran, terj. Sunarwoto Dema, Yogyakarta: LkiS, 2003.

28 Di sinilah kritik Ibnu Rusyd diarahkan pada al-Ghazali, yang menurut Ibnu Rusyd kritikan Al-Gazal yang membandingkan agama dan filsfat sebagai salah alamat. Muhammad Abed al-Jabiri, al-Turas wa al-Hadasah, Op. Cit. hal. 208

29 Dalam mendialekkan antara agama dan filsafat, Ibnu Rusyd menawarkan tiga prinsip dasar, yakni:Pertama, wacana agama selalu relevan dengan akal, baik pada aspek literalnya maupun takwilnya, tetapi takwil harus memuat beberapa syarat. Kedua, antara bagian yang satu dengan yang lain, al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang koheren yang saling menafsirkan, sehingga bilamana terjadi pertentangan antara satu lahiriah ayat dengan yang lain kerap dipahami sebagai saling manafsirkan. Ketiga, dia membedakan mana ayat yang bisa dan tidak bisa ditakwil. Di sinilah kemudian Ibnu Rusyd memberikan syarat-syarat penakwilan, yang akan dijelaskan selanjutnya. Muhmmd Abed l-Jabiri, Takwin, Op. Cit. hal. 320-321

30 “adapun pernyataan Al-Ghazali bahwa para filsuf tidak mempercayai mukjizat Nabi Ibrahim, tentu pernyataan itu hanya mungkin keluar dari orang-orang zindik dalam Islam, sebab para filsuf tidak boleh membicarakan dan memperbincangkan hal-hal yang prinsipil dlam syari’at. Orang-orang yang mempertahankannya harus hati-hati sekali”Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, hal. 124-125. Jabiri, al-Turas wa al-Hadatsah , Op. Cit. hal. 197

31 Muhammad Atif Al-Iraqi, Op. Cit. hal.233, dan Abd. Maqsud, Op. Cit., hal. 111

32 Hubungan akal dan wahyu juga dibahas Imam Syafi’i dalam karyanya “Al-Rislah”, yang dikenal dengan “Bayani”.

33 Ali Harb, Hermeneutika Kebenaran, Op. Cit. hal 154. Lihat juga, Muhammad Yusuf Musa, Op. Cit hal. 62-65

34 Muhammad Yusuf Musa, ibid. hal. 93

35 Ibnu Rusyd, Falsafah Ibnu Rusd Op. Cit hal. 86,

36 Untuk mengetahui lebih jauh pengertian retorika lihat Ibnu Rusyd, Talkhis Khitobah, Libanun-Beirut: Dar al-Qalam, pentahkik, Abdurrahman Badawi, tt.

37 Sedikit gambaran mengenai metode burhani, lihat. Jabiri, Mihnah Ahmad bin Hambal , hal.. 246

38 Tulisan yang cukup menarik terkait dengan penggunaan metode dialektika dan bahkan mencoba melakukan komparasi dengan dialektika Yunani adalah Manhaj al-Jidal fi al-Qur’an, karya: DR. Zahirin Iwadal-ma’i, cet ke II: 1400 H.

39 Ali Harb, Hermeneutika Kebenaran, Op. Cit. hal. 149

40 Dalam filsafat modern, bahasa dipahami sebagai sistem tanda. Sebagai sistem tanda, bahasa mengandung dua unsur yang tidak boleh tidak harus ada secara bersama-sama, yakni penanda dan petanda. Hubungan keduanya bersifat arbitrer, tidak alami bahwa dari sononya memang begitu. Ke-arbitrer-an itu disebabkan bahasa sebagai konstruks masyarakat penutur bahasa, sehingga hak ciptanya ada pada masyarakat tersebut. Ini mengakibatkan, makna suatu kata tidak mutlak ada sejak dahulu kala di dalam kata (bahasa) atau dalam hubungan kata dengan benda yang menjadi referensnya. Makna kata atau bahasa ada dan hidup bersama masyarakat pemilik bahasa, sehingga pemaknaan suatu kata atau bahasa harus dirujukkan pada masyarakat penuturnya.

41 Tentunya dalam tulisan ini, tidak perlu dicantumkan bagaimana hakikat filsafat bahasa dan hermeneutika. Dua hal ini disinggung di sini hanya untuk memberikan semacam hipotesis bahwa metode yang ditawarkan Ibnu Rusyd, kalau mau dilacak lebih jauh, sebenarnya tidak jauh beda dengan apa yang ditawarkan para filsuf Prancis tentang bahasa dan metode pembacaan teks.

43 Ibnu Rusyd, dalam Muhammad Abed al-Jabiri, Naqdu Ilm Al-Kalam Ibnu Rusyd, Al-Kasfu An Manahij Al- Adillah Fi Aqa’id Al-Millah, Libanun: Beirut, Markaz Dirasah Al-Wahdah al-arobiyyah, 1998, hal 134

44 Ibnu Rusyd, dalam Muhammad Abed al-Jabiri, ibid.

45 Qadli Abd. Jabbar, Ushul al-Khamsah,Ciro: Wahba Library, T.t. hal. 531-548

46 Ibnu Rusyd, al-Kasyfu an Manahij, Op. Cit. hal. 131-133

47 Tentang kalam nafsi dan kalam lafzhi, lihat, Syekh Khalid Al-Baghdadi, al-Iman wa al-Islam, Istambul, Turki: Hakikat Kitabekvi, 2000, hal. 44, dan Imam al-Baidawi, Hasyiyah Tafsir, al-Baidlawi, hal. 1-3.

48 Tokoh yang menjadi penggagas kearbitreran hubungan lafadz dan makna adalah Ferdenand de Saussure, dengan filsafat bahasanya yang dikenal dengan linguistik struktural. Lebih jauh, lihat Ferdenand de Saussur, Pengantar Linguistik Umum, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1993

49 Ibnu Rusyd, Fasl Maqal, Op. Cit. hal..20

50 Menurut Ibnu Rusyd, hukum syari’at terbagi dua, prinsip-prinsip dasar dan cabang. Syari’at bertumpu pada tiga prinsip utama, yakni adanya Allah, kenabian dan hari akhirat. Menurutnya, terhadap tiga unsur ini tidak boleh ditakwil oleh siapapun. Dan terhadap selain ketiga unsur di atas boleh ditakwil dengan syarat-syarat tertentu.

51 Tentang hermeneutika Filosofis Gadamer, lihat Richard King, Agama, Orientalisme dan Poskolonialisme, Yogyakarta: Qalam, 2001, hal. 137-152

52Ibnu Rusyd, Fasl al-Maqal, Op. Cit. hal. 20, Ali Harb, Hermeneutika Kebenaran, Op. Cit. hal. 148

53 Ibnu Rusyd, Fasl Maqal, Op. Cit. 33

Tidak ada komentar:

Posting Komentar